![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgK4QVR4cmH5YLWb-83N9bMo6JI4RsZbNHPBSEyXCEAkqC3mFHvlotZIvHqd9prhhZXCyBtIboqz1PETydP9jkYOdFmVHk3ti-x_bfZfZXZAR7No3dbsYMA5KUqcMbg3XZM4cQ7Ae-LB-s/s320/djacky5.jpg)
Jumat, 08 Maret 2013
Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi
Syaikh Nawawi Al-Bantani Al-Jawi (1): Guru Para Ulama
Indonesia
, Wa’ala Aalihie
Washohbihie Waman Walaah amma ba’du…
Ada beberapa nama yang bisa disebut sebagai tokoh Kitab Kuning Indonesia. Sebut
misalnya, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Abdul Shamad Al-Palimbani, Syekh Yusuf
Makasar, Syekh Syamsudin Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Sheikh
Ihsan Al-Jampesi, dan Syekh Muhammad Mahfudz Al-Tirmasi. Mereka ini termasuk
kelompok ulama yang diakui tidak hanya di kalangan pesantren di Indonesia, tapi
juga di beberapa universitas di luar negeri. Dari beberapa tokoh tadi, nama
Syekh Nawawi Al-Bantani boleh disebut sebagai tokoh utamanya. Ulama kelahiran
Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten, Jawa Barat, 1813 ini layak
menempati posisi itu karena hasil karyanya menjadi rujukan utama berbagai
pesantren di tanah air, bahkan di luar negeri. Bernama lengkap Abu Abdullah
al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi, Syekh Nawawi
sejak kecil telah diarahkan ayahnya, KH. Umar bin Arabi menjadi seorang ulama.
Setelah mendidik langsung putranya, KH. Umar yang sehari-harinya menjadi
penghulu Kecamatan Tanara menyerahkan Nawawi kepada KH. Sahal, ulama terkenal
di Banten. Usai dari Banten, Nawawi melanjutkan pendidikannya kepada ulama besar
Purwakarta Kyai Yusuf. Ketika berusia 15 tahun bersama dua orang saudaranya,
Nawawi pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Tapi, setelah musim
haji usai, ia tidak langsung kembali ke tanah air. Dorongan menuntut ilmu
menyebabkan ia bertahan di Kota Suci Mekkah untuk menimba ilmu kepada
ulama-ulama besar kelahiran Indonesia dan negeri lainnya, seperti Imam Masjidil
Haram Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syekh
Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan
Syekh Abdul Hamid Daghestani. Tiga tahun lamanya ia menggali ilmu dari
ulama-ulama Mekkah. Setelah merasa bekal ilmunya cukup, segeralah ia kembali ke
tanah air. Ia lalu mengajar dipesantren ayahnya. Namun, kondisi tanah air agaknya
tidak menguntungkan pengembangan ilmunya. Saat itu, hampir semua ulama Islam
mendapat tekanan dari penjajah Belanda. Keadaan itu tidak menyenangkan hati
Nawawi. Lagi pula, keinginannya menuntut ilmu di negeri yang telah menarik
hatinya, begitu berkobar. Akhirnya, kembalilah Syekh Nawawi ke Tanah Suci.
Kecerdasan dan ketekunannya mengantarkan ia menjadi salah satu murid yang
terpandang di Masjidil Haram. Ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi
Imam Masjidil Haram, Nawawi ditunjuk menggantikannya. Sejak saat itulah ia
menjadi Imam Masjidil Haram dengan panggilan Syekh Nawawi al-Jawi. Selain
menjadi Imam Masjid, ia juga mengajar dan menyelenggarakan halaqah (diskusi
ilmiah) bagi murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan dunia. Laporan
Snouck Hurgronje, orientalis yang pernah mengunjungi Mekkah ditahun 1884-1885
menyebut, Syekh Nawawi setiap harinya sejak pukul 07.30 hingga 12.00 memberikan
tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya. Di antara muridnya
yang berasal dari Indonesia adalah KH. Kholil Madura, K.H. Asnawi Kudus, K.H.
Tubagus Bakri, KH. Arsyad Thawil dari Banten dan KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang. Mereka inilah yang kemudian hari menjadi
ulama-ulama terkenal di tanah air. Sejak 15 tahun sebelum kewafatannya, Syekh
Nawawi sangat giat dalam menulis buku. Akibatnya, ia tidak memiliki waktu lagi
untuk mengajar. Ia termasuk penulis yang produktif dalam melahirkan kitab-kitab
mengenai berbagai persoalan agama. Paling tidak 34 karya Syekh Nawawi tercatat
dalam Dictionary
of Arabic Printed Books karya Yusuf Alias Sarkis. Beberapa kalangan
lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi
berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir,
dan lainnya. Di antara buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara
luas–Red) seperti Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah
al-Badiah, Nurazh Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Tanqih
Al-Qoul, Fath Majid, Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah
Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Samad, dan al-Aqdhu
Tsamin. Sebagian karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah. Dengan kiprah
dan karya-karyanya ini, menempatkan dirinya sebagai Sayyid Ulama Hijaz hingga
sekarang. Dikenal sebagai ulama dan pemikir yang memiliki pandangan dan
pendirian yang khas, Syekh Nawawi amat konsisten dan berkomitmen kuat bagi
perjuangan umat Islam. Namun demikian, dalam menghadapi pemerintahan kolonial
Hindia Belanda, ia memiliki caranya tersendiri. Syekh Nawawi misalnya, tidak
agresif dan reaksioner dalam menghadapi kaum penjajah. Tapi, itu tak berarti ia
kooperatif dengan mereka. Syekh
Nawawi tetap menentang keras kerjasama dengan kolonial dalam bentuk apapun. Ia
lebih suka memberikan perhatian kepada dunia ilmu dan para anak didiknya serta
aktivitas dalam rangka menegakkan kebenaran dan agama Allah SWT. Dalam bidang
syari’at Islamiyah, Syekh Nawawi mendasarkan pandangannya pada dua sumber inti
Islam, Alquran dan Al-Hadis, selain juga ijma’ dan qiyas. Empat
pijakan ini seperti yang dipakai pendiri Mazhab Syafi’iyyah, yakni Imam
Syafi’i. Mengenai ijtihad dan taklid (mengikuti salah satu
ajaran), Syekh Nawawi berpendapat, bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad)
mutlak adalah Imam Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dan Maliki. Bagi keempat ulama
itu, katanya, haram bertaklid, sementara selain mereka wajib bertaklid
kepada salah satu keempat imam mazhab tersebut. Pandangannya ini mungkin
agak berbeda dengan kebanyakan ulama yang menilai pintu ijtihad tetaplah
terbuka lebar sepanjang masa. Barangkali, bila dalam soal mazhab fikih, memang
keempat ulama itulah yang patut diikuti umat Islam kini. Apapun, umat Islam patut
bersyukur pernah memiliki ulama dan guru besar keagamaan seperti Syekh Nawawi
Al-Bantani. Kini, tahun haul (ulang tahun wafatnya) diperingati puluhan ribu
orang di Tanara, Banten, setiap tahunnya. Syekh Nawawi al-Bantani wafat dalam
usia 84 tahun di Syeib A’li, sebuah kawasan di pinggiran kota Mekkah, pada 25
Syawal 1314H/1879 M. Bersambung ke bagian 2…
Langganan:
Postingan (Atom)