Penjelasan Habib Masalah Tahlilan
Habib Munzir:
Saudaraku yg kumuliakan,
Hal itu merupakan pendapat orang orang yg kalap dan gerasa gerusu tanpa ilmu,
kok ribut sekali dengan urusan orang yg mau bersedekah pada muslimin?,
عن عائشة أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم فقال ثم
يا رسول الله إن أمي افتلتت نفسها ولم توص وأظنها لو تكلمت تصدقت أفلها أجر إن
تصدقت عنها قال نعم
Dari Aisyah ra bahwa sungguh telah datang seorang lelaki pada nabi saw seraya
berkata : Wahai Rasulullah, sungguh ibuku telah meninggal mendadak sebelum
berwasiat, kukira bila ia sempat bicara mestilah ia akan bersedekah, bolehkah
aku bersedekah atas namanya?, Rasul saw menjawab : “Boleh” (Shahih Muslim
hadits no.1004).
وفي هذا الحديث أن الصدقة عن الميت تنفع الميت ويصله
ثوابها وهو كذلك باجماع العلماء وكذا أجمعوا على وصول الدعاء
Dan dalam hadits ini (hadits riwayat shahih muslim diatas) menjelaskan bahwa
shadaqah untuk mayit bermanfaat bagi mayit, dan pahalanya disampaikan pada
mayyit, demikian pula menurut Ijma (sepakat) para ulama, dan demikian pula
mereka bersepakat atas sampainya doa doa” (syarh Imam Nawawi ala shahih muslim
juz 7 hal 90)
Maka bila keluarga rumah duka menyediakan makanan dengan maksud bersedekah maka
hal itu sunnah, apalagi bila diniatkan pahala sedekahnya untuk mayyit, demikian
kebanyakan orang orang yg kematian, mereka menjamu tamu2 dengan sedekah yg
pahalanya untuk si mayyit, maka hal ini sunnah.
Mengenai makan dirumah duka, sungguh Rasul saw telah melakukannya, dijelaskan
dalam Tuhfatul Ahwadziy :
حديث عاصم بن كليب الذي رواه أبو داود في سننه بسند صحيح
عنه عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في
جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي لحافرا أوسع من قبل
رجليه أوسع من قبل رأسه فلما رجع استقبله داعي امرأته فأجاب ونحن معه فجيء بالطعام
فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا الحديث رواه أبو داود والبيهقي في دلائل النبوة هكذا
في المشكاة في باب المعجزات فقوله فلما رجع استقبله داعي امرأته الخ نص صريح في أن
رسول الله صلى الله عليه وسلم أجاب دعوة أهل البيت واجتمع هو وأصحابه بعد دفنه
وأكلوا
“riwayat Hadits riwayat Ashim bin Kulaib ra yg diriwayatkan oleh Abu Dawud
dalam sunannya dengan sanad shahih, dari ayahnya, dari seorang lelaki anshar,
berkata : kami keluar bersama Rasul saw dalam suatu penguburan jenazah, lalu
kulihat Rasul saw memerintahkan pada penggali kubur untuk memperlebar dari arah
kaki dan dari arah kepala, ketika selesai maka datanglah seorang utusan istri
almarhum, mengundang Nabi saw untuk bertandang kerumahnya, lalu Rasul saw
menerima undangannya dan kami bersamanya, lalu dihidangkan makanan, lalu Rasul
saw menaruh tangannya saw di makanan itu kamipun menaruh tangan kami dimakanan
itu lalu kesemuanyapun makan. Riwayat Abu Dawud dan Baihaqi dalam Dalail
Nubuwwah, demikian pula diriwayatkan dalam AL Misykaah, di Bab Mukjizat,
dikatakan bahwa ketika beliau saw akan pulang maka datanglah utusan istri
almarhum.. dan hal ini merupakan Nash yg jelas bahwa Rasulullah saw mendatangi
undangan keluarga duka, dan berkumpul bersama sahabat beliau saw setelah
penguburan dan makan”.
(Tuhfatul Ahwadziy Juz 4 hal 67).
Lalu mana dalilnya yg mengharamkan makan dirumah duka?
Mengenai ucapan para Imam itu, yg dimaksud adalah membuat jamuan khusus untuk
mendatangkan tamu yg banyak, dan mereka tak mengharamkan itu :
1. Ucapan Imam nawawi yg anda jelaskan itu, beliau mengatakannya tidak disukai
(ghairu Mustahibbah), bukan haram, tapi orang yang wahabi mencapnya haram
padahal Imam Nawawi mengatakan ghairu mustahibbah, berarti bukan hal yg
dicintai, ini berarti hukumnya mubah, dan tidak sampai makruh apalagi haram.
2. Imam Ibnu Hajar Al Haitsamiy menjelaskan adalah :
من جعل أهل الميت طعاما ليدعوا الناس إليه بدعة منكرة
مكروهة
“mereka yg keluarga duka yg membuat makanan demi mengundang orang adalah hal
Bid’ah Munkarah yg makruh” (bukan haram)
semoga anda mengerti bahasa, bahwa jauh beda dengan rumah duka yg menyuguhkan
makanan untuk tamu yg mengucapkan bela sungkawa, jauh berbeda dengan membuat
makanan demi mengundang orang agar datang, yg dilarang (Makruh) adalah membuat
makanan untuk mengundang orang agar datang dan meramaikan rumah.
Entahlah para wahabi itu bodoh dalam bahasa atau memang sengaja menyelewengkan
makna, sebab keduanya sering mereka lakukan, yaitu bodoh atas syariah dan
menyelewengkan makna.
3. Ucapan Imam Ibnu Abidin Al-Hanafy menjelaskan “Ittikhadzuddhiyafah”, ini
maknanya “membuat perjamuan besar”, misalnya begini : Bupati menjadikan
selamatan kemenangannya dalam pilkada dengan “Ittikhadzuddhiyafah” yaitu
mengadakan perjamuan. Inilah yg dikatakan Makruh oleh Imam Ibn Abidin dan
beliau tak mengatakannya haram, Inilah dangkalnya pemahaman orang orang wahabi
yg membuat kebenaran diselewengkan.
4. Imam Ad-Dasuqi Al-Maliki berkata berkumpulnya orang dalam hidangan makan
makan dirumah mayit hukumnya Bid’ah yg makruh. (Bukan haram tentunya), dan
maksudnya pun sama dg ucapan diatas, yaitu mengumpulkan orang dengan jamuan
makanan, namun beliau mengatakannya makruh, tidak sampai mengharamkannya.
5. Syaikh An-Nawawi Al-Banteni rahimahullah menjelaskan adat istiadat baru
berupa “Wahsyah” yaitu adat berkumpul dimalam pertama saat mayyit wafat dengan
hidangan makanan macam macam, hal ini makruh, (bukan haram).
dan mengenai ucapan secara keseluruhan, yg dimaksud makruh adalah sengaja
membuat acara “jamuan makan” demi mengundang tamu tamu, ini yg ikhtilaf ulama
antara mubah dan makruh, tapi kalau justru diniatkan sedekah dengan pahalanya
untuk mayyit maka justru Nash Shahih Bukhari dan Shahih Muslim diatas telah
memperbolehkannya bahkan sunnah.
Dan tentunya bila mereka (keluarga mayyit) meniatkan untuk sedekah yg pahalanya
untuk mereka sendiripun maka tak ada pula yg memakruhkannya.
Sebagaimana Rasul saw makan pula, karena asal dari pelarangan adalah
memberatkan mayyit, namun masa kini bila anda hadir jenazah lalu mereka
hidangkan makanan dan anda katakan haram (padahal hukumnya makruh) maka hal itu
malah menghina dan membuat sedih keluarga yg wafat,
lihat Akhlak Rasulullah saw, beliau tahu bahwa pembuatan makan makan di rumah
duka adalah hal yg memberatkan keluarga duka, namun beliau mendatangi undangan
istri almarhum dan makan bersama sahabatnya,
kenapa?, tak mau mengecewakan keluarga duka, justru datang dan makan itu bila
akan menghibur mereka maka perbuatlah!, itu sunnah Muhammad saw.
Yg lebih baik adalah datang dan makan tanpa bermuka masam dan merengut sambil
berkata haram..haram… dirumah duka (padahal makruh), tapi bawalah uang atau
hadiah untuk membantu mereka.
Sekali lagi saya jelaskan bahwa asal muasal pemakruhan adalah jika menyusahkan
dan memberatkan mayyit, maka memberatkan dan menyusahkan mereka itulah yg
makruh,
dan pelarangan / pengharaman untuk tak menghidangkan makanan dirumah duka
adalah menambah kesedihan si mayyit, bagaimana tidak?, bila keluarga anda wafat
lalu anda melihat orang banyak datang maka anda tak suguhkan apa2..?, datang
dari Luar kota misalnya, dari bandara atau dari stasion luar kota datang dg
lelah dan peluh demi hadir jenazah, lalu mereka dibiarkan tanpa seteguk
airpun..???, tentunya hal ini sangat berat bagi mereka, dan akan sangat membuat
mereka malu.
Selama hal ini ada riwayat Rasul saw memakannya dan mendatangi undangan istri
almarhum dan makan bersama sahabatnya, maka kita haram berfatwa mengharamkannya
karena bertentangan dg sunnah Nabi saw, karena hal itu diperbuat oleh Rasul
saw, namun kembali pada pokok permasalahan yaitu jangan memberatkan keluarga
duka, bila memberatkannya maka makruh, dan jangan sok berfatwa bahwa hal itu
haram.
Akhir dari jawaban saya adalah : semestinya orang yg berhati suci dan
menginginkan kebangkitan sunnah, mereka mengajak untuk bersedekah pada keluarga
duka bila ada yg wafat di wilayahnya, namun sebagian dari kita ini bukan
menghibur mereka yg kematian, malah mengangkat suara dg fatwa caci maki kepada
muslimin yg ditimpa duka agar jangan memberi makan apa apa untuk tamunya,
mereka sudah sedih dengan kematian maka ditambah harus bermuka tembok pula pada
tamu tamunya tanpa menyuguhkan apapun, lalu fatwa makruh mereka rubah menjadi
haram, jelas bertentangan dengan ucapan mereka sendiri yg berhujjah bahwa agama
ini mudah, dan jangan dipersulit.
Inilah dangkalnya pemahaman sebagian saudara saudara kita, mereka ribut
mengharamkan hal hal yg makruh dan melupakan hal hal yg haram, yaitu menyakiti
hati orang yg ditimpa duka.
Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, maaf saya
menjawab pertanyaan ini bukan diarahkan pada anda, namun pada mereka,
mengenai ucapan Imam Nawawi itu makruh, mereka merubahnya menjadi haram, entah
karena bodohnya atau karena liciknya, atau karena kedua duanya,
demikian saudaraku yg kumuliakan,
KESIMPULAN
1. Yang dibenci (makruh) ulama
bukanlah Tahlilannya, tapi mengundang dengan maksud untuk perayaan/ meramaikan
rumah. Namun kalau tujuannya untuk sedekah, dan yang diundang adalah untuk
membaca tahlil, doa untuk Arwah, maka menjadi boleh, bahkan baik..
2. Tentang sampai tidaknya amal
Memang menjadi masalah kilafiah,sebagian mengatakan sampai namun membatasi pada
hal-hal tertentu saja. Sebagian lagi mengatakan semua amal kebaikan bisa. Namun
jika dirangkai dengan doa, maka semuanya menjadi boleh.
Berikut kesimpulan ulasan dari Habib Munzir:
Kini saya ulas dengan kesimpulan :
1. membuat jamuan untuk mengundang orang banyak hukumnya makruh, walaupun ada
yg mengatakan haram namun Jumhur Imam dan Muhadditsin mengatakannya Makruh.
2. membuat jamuan dengan niat sedekah hukumnya sunnah, tidak terkecuali ada
kematian atau kelahiran atau apapun,
3. membuat jamuan dengan tujuan sedekah dan pahalanya untuk mayyit hukumnya
sunnah, sebagaimana riwayat Shahih Bukhari seorang wanita mengatakan pada Nabi
saw bahwa ibuku wafat, dan apakah ibuku mendapat pahala bila aku bersedekah
untuknya?, Rasul saw menjawab : Betul (Shahih Bukhari hadits no.1322)
4. menghidangkan makanan seadanya untuk tamu yg datang saat kematian adalah hal
yg mubah, bukan makruh, misalnya sekedar the pahit, atau kopi sederhana.
5. Sunnah Muakkadah bagi masyarakat dan keluarga tidak datang begitu saja dg
tangan kosong, namun bawalah sesuatu, berupa buah, atau uang, atau makanan.
6. makan makanan yg dihidangkan oleh mereka tidak haram, karena tak ada yg
mengharamkannya, bahkan sebagaimana dalam Syarh Sunan Ibn Majah dijelaskan hal
itu pernah dilakukan oleh Rasul saw,
Demikian, Salam ukhuwah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar