Sabtu, 29 November 2014

AL-SYEIKH MUHAMMAD NAWAWI AL-BANTANI SEBAGAI MUJTAHID

AL-SYEIKH MUHAMMAD NAWAWI AL-BANTANI
SEBAGAI MUJTAHID

A.   Al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Banteni dan Kemujtahidannya
Al-Syeikh Muhammad Nawawi, nama lengkapnya ialah Muhammad Nawawi ibn Umar ibn Arbi al-Jawi al-Bantani.1) Penggunaan nisbah al-Jawi adalah untuk menyatakan bahwa Muhammad Nawawi itu berasal atau berke-bangsaan Jawa yang, pada waktu itu, Jawa dikenal sebagai layaknya suatu negeri karena secara de jure Indonesia belum ada. Sedangkan penggunaan nisbah al-Bantani adalah untuk menyatakan daerah asalnya, yaitu Banten yang pada waktu hidup Nawawi, merupakan daerah bekas kerajaan Islam yang kemudian dikuasai oleh penjajah Belanda, dalam bentuk keresidenan. Di sebagian buku yang ditulis oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi, nisbah al-Syeikh Muhammad Nawawi juga ditulis al-Tanari, yaitu nama kampung tempat kela-hirannya, Tanara. Di samping itu, Nawawi juga punya julukan (laqab) Abu Abd al-Muthi. Julukan ini diambil dari nama satu-satunya anak laki-lakinya yang meninggal ketika masih remaja, bernama Abd al-Muthi.
Muhammad Nawawi dilahirkan pada tahun 1230 Hijriyah, bertepatan dengan tahun 1813 Miladiyah, di kampung Tanara, Banten. Pada masa kanak-kanaknya ia belajar membaca al-Qur'an dan menulis huruf Arab, serta pengeta-huan dasar tentang fiqh kepada ayahnya, Kiyai Umar. Pada masa remajanya, Nawawi belajar kepada Kiyai Sahal (Banten) dan Kiyai Haji Yusuf (Purwakarta). Ketika Nawawi berkesempatan pergi haji ke Mekah pada usia 15 tahun, ia bermukim di sana selama 3 tahun untuk kemudian kembali ke kampung ha-lamannya dengan keberhasilan menghafal al-Qur'an serta menguasai pengeta-huan dasar bahasa Arab, ilmu kalam, ilmu mantik, ilmu hadits/tafsir, dan ter-utama ilmu fiqh.2) Tidak lama Nawawi berada di tanah air, pada tahun itu juga (kira-kira tahun 1830 M) pergi lagi ke Mekah untuk belajar. Kali ini merupakan kepergiannya yang terakhir, sebab ia tidak pernah kembali lagi ke tanah air. Pada kepergiannya inilah kemudian, selama lebih kurang 30 tahun di Mekah ia belajar kepada guru-gurunya yang terkenal: al-Syeikh Khatib Sambas, al-Syeikh Abd al-Ghani Bima, al-Syeikh Yusuf Sumbulawaini, al-Syeikh Nahrawi, dan al-Syeikh Abd al-Hamid al-Daghistani.3)
Selesai belajar atau berguru secara langsung, pada tahun 1860-1870 M, Muhammad Nawawi mulai aktif mengajar di Masjid al-Haram. Peserta yang mengikutinya sebagian besar berasal dari Indonesia (pada waktu itu bernama Hindia Belanda). Di antara peserta atau murid-muridnya yang orang Indonesia ialah: K.H. Hasyim Asy'ari, K.H. Khalil, K.H. Asnawi (Banten), K.H. Asnawi (Kudus), dan K.H. Arsyad Thawil.4)  Mata pelajaran yang diajarkannya ialah ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu tasawuf/akhlak, tafsir, hadits, dan bahasa Arab. Kemudian mulai tahun 1870 M, Muhammad Nawawi aktif menulis dan menyusun kitab-kitab yang sebagian besar dalam bentuk syarah atas kitab-kitab yang dijadikan acuan dalam kegiatan mengajarnya. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/ 1879 M, al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani wafat, dan dimakamkan di pemakaman Mala, Makkah al-Mukar-ramah.5)
Aktifitas-aktifitas al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani ketika mengajar dan mengarang, membawanya pada peringkat keulamaan dan dikenal sebagai ulama besar. Keulamaan yang disandangnya itu pula menyebabkan ia disebut seorang mujtahid. Sebutan mujtahid bagi seorang ulama adalah tanda kemandirian berpikir bagi ulama itu, dan sebutan itu pulalah yang menarik untuk dibuktikan, apakah benar al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani itu seorang mujtahid. Pembuktian akan kebenaran itu memerlukan pengukuran yang, berarti juga memerlukan alat. Untuk membuktikan kemujtahidan al-Syeikh Muhammad Nawawi, pengukuran yang setidak-tidaknya mendekati kebenaran itu ialah persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh seseorang sehingga mempunyai kewenangan untuk berijithad. Persyaratan-persyaratan berijtihad erat kaitannya dengan pengertian atau konsep ijtihad. Abu Hamid al-Ghazali merumuskan pengertian ijtihad dengan:6)
بذل المجتهد وسعه فى طلب العلم باحكام الشريعة
Pengerahan kemampuan mujtahid dalam upaya mengetahui  hukum-hukum syari'ah.
Definisi dengan ungkapan yang berbeda, Ibn al-Hajib merumuskan pengertian ijtihad sebagai berikut:7)
استفراغ الفقيه الوسع لتحصيل ظن يحكم سرعى
Pengerahan segenap kemampuan yang dilakukan oleh ahli fiqh untuk mendapatkan suatu tahapo dugaan kuat tentang ketetapan hukum syar'iy.
Pada pengertian di atas terkandung pernyataan bahwa ijtihad ialah pengerahan kemampuan yang berarti bahwa segenap kemampuan itu mesti dikerahkan dalam berijtihad. Pengerahan segenap kemampuan sebagaimana terkandung dalam kata الجهد/اجتهاد  mesti mengandung unsur-unsur yang memberatkan atau menyulitkan yang,8)  karenanya hanya bisa dilakukan oleh mujtahid. Kemampuan yang mesti dikerahkan secara optimal, menunjukkan bahwa kewenangan berijtihad hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang memenuhi syarat, sebab syarat-syarat itulah yang menentukan adanya kemampuan. Karena itu persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid adalah penting. Atas kepentingan itu, ulama-ulama ushul fiqh merumuskan syarat-syarat mujtahid. Tetapi karena perumusan syarat-syarat mujtahid itu ditetapkan oleh ulama-ulama berdasarkan pemikirannya, maka perbedaan pendapat pun tidak bisa dihindari, meskipun perbedaan pendapat itu terletak pada ketat atau longgarnya persyaratan-persyaratan yang dirumuskan.
Persyaratan yang nampak ketat terhadap mujtahid, dirumuskan oleh al-Syahrastani.9) Menurutnya, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid, sehingga mempunyai kewenangan untuk berijtihad, adalah:
1.    Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang bahasa Arab, sehingga mam-pu memahami seluk beluk bahasa Arab, misalnya perbedaan antara lafazh-lafazh wad'iyah dan isti'dal, al-nash dan al-zhahir, al-'am dan al-khash, dan lain-lain.
2.    Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang tafsir al-Qur'an, terutama tafsir yang berkenaan dengan ayat-ayat hukum.
3.    Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang al-Hadis, baik mengenai matannya, sanadnya, maupun mengenai pemindahan periwayatannya.
4.    Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang ijma', yang terjadi pada masa shahabat, tabi'in, dan tabi'i al-tabi'in, sehingga ijtihad yang dilakukan tidak bertentangan dengan ijma'.
5.    Mempunyai kejelian tentang obyek-obuek qiyas.
Dalam hal persyaratan mujtahid itu, Muhammad Musa10) merincinya pada empat klasifikasi, yaitu: syarat-syarat umum mujtahid (الشروط العامة), syarat-syarat penting (الشروط الهامة), syarat-syarat pokok (الشروط الاساسيه), dan syarat-syarat pelengkap (الشروط التكميلية). Syarat-syarat umum mujtahid ialah: sudah dewasa (baligh), berakal sehat, mempunyai kecerdasan yang tinggi, dan beriman. Persyaratan penitng meliputi: mempunyai pengetahuan bahasa Arab, ushul al-Fiqh, al-manthiq, dan mengetahui bahwa prinsip hukum adalah Syara' (al-bara'ah al-ashliyah). Persyaratan pokok meliputi: mempunyai pengetahuan tentang Kitab Allah (al-Qur'an), mempunyai pemahaman yang memadai tentang al-Sunnah dan tujuan al-Syari'ah (maqashid al-syari'ah), dan mempunyai pengetahun tentang kaidah-kaidah universal (al-qawa'id al-kulliyah). Sedangkan syarat-syarat pelengkap meliputi: mengetahui bahwa pada kasus tertentu itu tidak ada keberlakuan dalil qath'iy, mempunyai pengetahuan tentang wilayah beda pendapat, dan memiliki kesalehan serta ketakwaan.
Persyaratan yang berkenaan dengan penguasaan pengetahuan bahasa Arab dengan semua cabang-cabangnya, misalnya nahwu, sharf, dan balaghah, adalah karena sumber istinbath11) yang dalam hal ini al-Qur'an dan al-Hadis, berbahasa Arab. Pemahaman terhadap bahasa Arab memerlukan alat yang memadai, apalagi gaya bahasa (uslub) al-Qur'an itu unik, sedangkan alat yang memadai ialah pengetahuan bahasa Arab. Mengenai al-Qur'an berbahasa Arab, telah dinyatakan oleh al-Qur'an sendiri. Kira-kira ada 14 ayat yang dapat menunjukkannya, misalnya surat Yusuf (12):2, surat al-Ra'ad (13):37, surat Ibrahim (14):4, dan surat al-Nahl (16):103. al-Hadis yang ungkapan-ungkap-annya juga berbahasa Arab, meskipun peringkatnya sebagai dalil hukum menduduki urutan kedua, pemahamannya adalah dengan pengetahuan bahasa Arab. Sangat sulit dipercaya hasil ijtihadnya jika mujtahid yang berijtihad itu tidak menguasai bahasa Arab.
Persyaratan tentang penguasaan tafsir al-Qur'an bagi mujtahid, berke-naan dengan kedududukan al-Qur'an yang isinya adalah mufassar, terutama ayat-ayat hukum. Tafsir atau penafsiran pertama terhadap al-Qur'an ialah al-Qur'an sendiri. Tetapi ada kemungkinan ayat-ayat al-Qur'an tidak ditafsirkan oleh ayat-ayat yang lain, karena luasnya pengertian ayat-ayat itu. Dalam kondisi seperti itu, penafsiran dikembalikan kepada al-Sunnah, sebab kedudukannya itu sebagai penjelas.12) Pemahaman terhadap al-Qur'an adalah penafsirannya itu yang bukan saja dengan alat pengetahuan bahasa Arab, tetapi juga ilmu tafsir. Liputan ilmu tafsir ialah pengetahuan tentang nasikh-mansukh, asbab al-nuzul, ta'wil, dan macam ayat, baik dilihat dari bentuknya maupun titi mangsa turun-nya. Cakupan ilmu-ilmu inilah yang bisa menjadi alat memahami atau menafsiri al-Qur'an. Dengan pemahaman tafsir itu, dapat menentukan suatu hukum berdasarkan sumber pertamanya.
Persyaratan tentang penguasaan ilmu hadis diperlukan untuk memahami hadis sebagai dasar hukum Islam kedua, dan untuk memahami al-Qur'an melalui penjelasan al-Hadis, khususnya yang berkenaan dengan masalah-masalah hukum. Di samping al-Hadis berkedudukan sebagai sumber hukum-hukum Syara yang kedua, juga berfungsi untuk menjelaskan al-Qur'an. Karena itu Imam al-Syafi'i menyatakan:13)
كل ما حكم به رسول الله صلى الله عليه وسلم فهو بما فهمه من القرآن
Semua hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW adalah sebagai hasil dari pemahamannya terhadap al-Qur'an.
Yang termasuk dalam pembahasan ilmu hadis adalah mengenai matan (materi) hadis, orang-orang yang meriwayatkan hadis, dan proses pemindahan riwayat dari orang yang satu kepada orang yang lain. Dengan ilmu hadis yang dikuasai, seorang mujtahid dapat menentukan hukum syara, bentuk, bidang, dan kualitasnya, berdasarkan pada kualitas periwayatan hadits. Hukum syara yang ditentukannya itu bisa berasal dari hadis atas penafsirannya terhadap al-Qur'an, atau dari hadis itu sendiri manakala al-Qur'an tidak menyebutnya.
Persyaratan tentang penguasaan terhadap ijma' diperlukan bagi mujtahid agar ijtihadnya tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum dari hasil ijma shahabat, tabiin, dan tabii al-tabiin. Hukum-hukum hasil ijma adalah juga sebagai dasar atau dalil terhadap sesuatu yang dihukumi itu. Meskipun ijma itu terjadi melalui proses ijtihad para shahabat, tabiin, atau tabii al-tabiin, namun karena sepakat dalam ijtihadnya, maka hasilnyapun menjadi kuat. Misalnya ijma mengenai kesucian dan keagungan al-Qur'an (mushhaf),14) terjadi di kalangan shahabat, tabiin, dan tabii al-tabiin, meskipun mengenai batasan kesucian orang-orang yang boleh menyentuhnya, terjadi perbedaan pendapat (tidak ijma). Karena itu pengetahuan tentang ijma adalah penting bagi mujtahid.
Adapun persyaratan mengenai kejelian mujtahid terhadap obyek-obyek qiyas, dimaksudkan bahwa suatu kasus itu harus diketahui oleh mujtahid, ada atau tidak adanya kesamaan dengan sesuatu yang sudah ada hukumnya. Hal ini diperlukan agar mujtahid selalu dapat memberikan kontribusi hukum terhadap sesuatu (kasus) yang secara tekstual tidak disebut dalam nash. Besarnya kontri-busi itu memberi dukungan kepada mujtahid untuk tidak berpeluang pada kefakuman hukum.
Di samping persyaratan-persyaratan mujtahid yang cenderung bersifat akademik tersebut, ada satu persyaratan yang bersifat moral, yaitu adil. Seorang mujtahid disyaratkan harus adil, yaitu terhindar dari perbuatan maksiat. Penting-nya persyaratan ini adalah karena berkaitan dengan kewenangan dipeganginya hasil-hasil ijtihad seorang mujtahid untuk keperluan fatwa.15) Dalam pengguna-annya, fatwa berhubungan dengan kepentingan orang lain (atau orang banyak) yang akan mengikutinya. Karena itu pula al-Bardisi menetapkan bahwa syarat utama seorang mujtahid adalah harus muslim, dan dari mujtahid muslim itulah hukum-hukum syara' yang ditetapkannya akan benar.16)
Jika syarat-syarat mujtahid tersebut di atas dijadikan ukuran untuk melihat kemujtahidan al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani, maka diperlu-kan pengujian bagi pemenuhan masing-masing syarat tersebut pada al-Syeikh Muhammad Nawawi. Untuk persyaratan pertama, yaitu penguasaan bahasa Arab, terhadap al-Syeikh Muhammad Nawawi, bisa dianalisis dari dua segi, yaitu penguasaan teoritis dan penguasaan praktis. Dalam penguasaan bahasa Arab secara teoritis dapat ditunjukkan melalui karya-karyanya mengenai bidang ini. Ada empat buah karyanya dalam bidang bahasa Arab dengan cabang-cabangnya yang meliputi ilmu nahwu, ilmu sharaf, dan ilmu balagah. Dalam cabang ilmu nahwu, al-Syeikh Muhammad Nawawi menulis kitab yang diberi nama Kasyf al-Maruthiyah 'an Sattar al-Ajurumiyah (1298 H.), dan kitab Fath Ghafir al-Khathiyah 'ala al-Kawakib al-Jaliyah fi Nazham al-Ajurumiyah (1298 H). Dalam cabang ilmu sharaf  -- di dalamnya ada bahasan ilmu nahwu --, al-Syeikh Muhammad Nawawi menulis kitab yang diberi nama al-Fushush al-Yaqutiyat 'ala al-Rawdat al-Bahiyat fi al-Abwab al-Tashrifiyat (1299 H.) Sedangkan dalam cabang ilmu balaghah, al-Syeikh Muhammad Nawawi menulis kitab yang diberi nama Lubab al-Bayan: Syarh 'ala Risalah al-Syeikh Husain al-Maliki fi al-Isti'arat (1301 H.).
Dari segi penguasaan bahasa Arab secara praktis, al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani memperlihatkan kemampuan bahasa Arabnya dalam pemba-hasan-pembahasan masalah yang pemecahan-pemecahannya bersumber pada teks al-Qur'an dan al-Hadis, atau masalah-masalah yang berkaitan dengan penafsiran teks al-Qur'an dan al-Hadis. Kemampuan tersebut misalnya diper-lihatkan pada penafsiran surat al-Nisa ayat 42 tentang larangan shalat bagi orang yang mabuk. Terhadap lafazh ... وانتم سكارى ..., ditafsiri dengan ... حال كونهم سكارى .... Dalam penafsiran tersebut nampak bahwa huruf wawu (وَ) adalah untuk hal haliyah.17) Contoh lain misalnya, ketika al-Syeikh Muhammad Nawawi mengartikan sabda Nabi saw yang berbunyi ... واستو صوا بالنسآء خيرا .... Huruf al-Baa (الباء) pada lafaئh bi al-nisa'i (بالنسآء) adalah pertanda mutaaddi bagi fi'il yang sebelumnya, yaitu lafazh استو صوا; sementara nashab-nya lafazh خيرا, ada dua kemungkinan fungsi, yaitu sebagai maf'ul atas lafazh استو صوا, atau menjadi maf'ul atas lafadh fi'il yang dibuang, yaitu lafazh (خيرا وائتوا. Terakhir, menjadilah makna keseluruhannya: ... واقبلوا وصيتى فيهن وائتوا خيرا.18)
Persyaratan kedua ialah penguasaan terhadap (ilmu) tafsir al-Qur'an, terutama tafsir mengenai ayat-ayat hukum (al-ahkam). Mengenai persyaratan ini, bagi al-Syeikh Muhammad Nawawi dapat dianalisis dari dua sisi, yaitu sisi penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur'an, khususnya ayat-ayat hukum, dan sisi pembahasan masalah-masalah hukum yang pemecahannya menggunakan dalil al-Qur'an yang pendalilannya berdasarkan atas penafsirannya terhadap ayat yang bersangkutan. Sisi penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur'an, bagi al-Syeikh Muhammad Nawawi ditunjukkan lewat karyanya dalam bidang tafsir al-Qur'an, yaitu Marah Labid (al-Tafsir al-Munir li Ma'alim al-Ta'wil). Sebagaimana ayat-ayat lain, ayat-ayat hukum juga ditafsiri oleh al-Syeikh Nawawi. Misalnya ayat 96 surat Ali 'Imran. Di akhir ayat itu berbunyi وهدى للعالمين ..., penafsirannya adalah bahwa Ka'bah (al-Bayt) itu kiblat bagi seluruh Nabi, Rasul, dan Mu'min dalam shalat mereka, sebab perintah shalat itu ada pada seluruh agama yang dibawa oleh Nabi-nabinya, sebagaimana ditunjukkan dalam surat Marayam ayat 58, yang di akhir ayat tersebut ada pernyataan yang berbunyi:  تتلى عليهم ايات الرحمن خروا سجدا وبكيا اذا .... Ayat ini menerangkan bahwa para Nabi itu bersujud kepada Allah manakala dibacakan ayat-ayat Allah. Sujudnya mereka kepada Allah itu mengharuskan pada suatu arah tertentu, dan arah (kiblat) itu ialah Bayt Allah (Ka'bah).19)
Sisi pendalilan yang dipakai oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi dapat ditunjukkan misalnya, ketika ia membahas masalah tertib dalam berwudu. Ia berpendapat bahwa urutan atau tertib membasuh atau menyapu anggota-anggota badan dalam berwudu dengan air, adalah rukun wudu. Urutan (tertib) itu berdasar pada al-Qur'an surah al-Ma'idah ayat 6 yang, satu demi satu, ayat itu menyebut anggota badan yang dibersihkan yang, penyebutan urutannya menggunakan huruf wawu (وَ). Artinya, al-Qur'an sendiri yang telah mengurut-kannya; menyebut yang lebih dahulu disebut dan yang dikemudiankan, adalah urutan (tertib).20) Terlihat bahwa urutan (tertib) dalam membersihkan anggota-anggota badan ketika berwudu berdasarkan ayat tersebut di atas, adalah suatu penafsiran yang, bukan saja menyebut huruf wawu dengan makna summa (kemudian), tetapi justeru pemaknaan 'kemudian' itu adalah oleh ayat sendiri yang mengurutkannya.
Persyaratan ketiga ialah penguasaan terhadap (ilmu) hadis dengan segala bagian-bagiannya. Analisis terhadap al-Syeikh Muhammad Nawawi kaitannya dengan persyaratan ini, bisa diperlihatkan melalui karyanya tentang hadis. Dalam hal ini al-Syeikh Muhammad Nawawi menulis kitab hadis yang diberi nama tanqih al-Qawl al-Hasis, yang merupakan syarah atas kitab Lubab al-Hadis karya Jalal al-Din al-Sayuthi. Di dalam kitab syarahnya, al-Syeikh Muhammad Nawawi menjelaskan pengertian hadis, asar, dan khabar, sanad, matan, dan isnad; serta macam-macam kualitas hadis dan kedudukan hadis yang berkualitas da'if.21) Demikian pula al-Syeikh Nawawi menjelaskan batasan-batasan kualitas hadis pada sebagian kitabnya yang menggunakan hadis sebagai dalil.22)
Persyaratan yang keempat, mempunyai pengetahuan yang memadai tentang ijma'. Mengenai ijma' ini, al-Syeikh Muhammad Nawawi mengakuinya sebagai salah satu dalil hukum.23) Pengetahuannya tentang ijma' diperlihatkan pada pemakaiannya dalam menentukan hukum. Dalam kitab-kitabnya banyak disebutkan ijma' mengenai masalah-masalah hukum atau masalah-masalah akidah tertentu. Misalnya al-Syeikh Nawawi menghukumi batal wudu bagi orang yang hilang akal akibat mabuk, berdasarkan ijma', dua khutbah sebagai salah satu syarat sahnya Jum'at harus dilakukan sebelum shalat, berdasarkan ijma',24) kewajiban orang Islam menghormati mushhaf (al-Qur'an) adalah berdasarkan ijma', 26) dan masih banyak lagi yang lainnya.
Adapun persyaratan yang kelima, yaitu tentang kejelian dan kemampuan terhadap masalah qiyas, bagi al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani, dapat pula diperlihatkan dalam pemakaiannya ketika menjelaskan hukum tertentu yang perlu dengan qiyas. Misalnya dalam hal batalnya shalat, Muhammad Nawawi berpendapat bahwa orang yang berbicara pada waktu shalat sedang ia lupa akan keharaman berbicara dalam shalat, shalatnya dihukumi batal. Penentuan hukum batal ini didasarkan pada qiyas dari batalnya shalat orang yang lupa bahwa pada pakaiannya terdapat najis.27)
Mengenai persyaratan adil bagi mujtahid, yaitu terhindar dari perbuatan maksiat, nampaknya agak sulit dilacak pemenuhannya, demikian pula terhadap al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani. Batasan adil dengan, terhindarnya seseorang dari perbuatan maksiat, yang berlatas belakang pada pencapaian kewibawaan fatwa, agaknya sulit untuk diukur, sebab bagaimana mungkin seseorang dapat diketahui tidak melakukan perbuatan maksiat. Untuk itu, kiranya dapat dibantu dengan "sekedar" menduga bahwa seseorang terhindar dari perbuatan maksiat. Dengan strategi ini, analisis terhadap al-Syeikh Muham-mad Nawawi al-Bantani, dugaan akan terhindarnya dari perbuatan maksiat, dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu berdasarkan pendapat orang lain dan berdasarkan karya-karyanya yang membahas masalah-masalah kebaikan. Menu-rut ungkapan-ungkapan penerbit buku-buku karya al-Syeikh Nawawi, dalam penamaan pengarangnya disebutkan julukan al-'Alim al-'Allamah, al-'Alim al-Fadil, al-'Alim al-'Amil al-Fadil, al-Syeikh al-Imam, dan al-Wara' al-Kamil. Sebutan-sebutan tersebut mengisyaratkan bahwa al-Syeikh Muhammad Nawawi adalah seorang yang menghindar dari maksiat, apalagi ada sebutan al-Wara'  yang didefinisikan oleh Nawawi sendiri dengan: orang yang menghindar syubhat karena khawatir jatuh pada yang diharamkan.28) Sebutan-sebutan itu didukung pula oleh pemikiran-pemikirannya tentang upaya beramal shalih dan nilai-nilai kebajikan. Tentang pentingnya berbuat kebajikan dan menghindarkan diri dari maksiat, bahkan pentingnya meninggalkan syubhat, dikemukakan oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi dalam kitab-kitabnya, Mirqat al-Shu'ud, Maraqi al-'Ubudiyat, Salalim al-Fudala, Bahjah al-Wasa'il, Qami' al-Thughyan, dan Nasha'ih al-'Ibad.
Melihat syarat-syarat mujtahid dalam berijtihad sebagaimana tersebut di atas, dan seleksi persyaratan atas diri al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani, ternyata persyaratan-persyaratan tersebut telah terpenuhi. Tetapi dengan telah terpenuhinya persyaratan-persyaratan tersebut, belum dapat dipastikan bahwa al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani itu seorang mujtahid. Untuk memastikannya perlu dilihat, apakah al-Syeikh Muhammad Nawawi melakukan ijtihad. Untuk menemukannya kiranya penting dianalisis isi karya-karyanya terutama yang membahas masalah-masalah fiqh. Dalam kitabnya Kasyifat al-Saja dapat ditunjukkan misalnya, tentang cara mengangkat tangan pada waktu takbirah al-ihram  dalam shalat. Ia berpendapat bahwa mengangkat tangan dimulai berbarengan dengan dimulainya bacaan takbir, dan berakhirnya mengangkat tangan bersamaan dengan berakhirnya lafazh takbir, setelah itu baru tangan diturunkan.29) Pada kitabnya yang lain diperlihatkan pula bahwa al-Syeikh Muhammad Nawawi melakukan ijtihad dalam membahas masalah-masalah fiqh. Pembahasan tentang ijtihadnya ini akan dikemukakan pada bab empat.
Dengan terpenuhinya syarat-syarat mujtahid dan al-Syeikh Muhammad Nawawi sendiri melakukan ijtihad sesuai dengan tuntutan ijtihad, yaitu mengerahkan kemampuan yang optimal untuk menemukan hukum-hukum syara', maka cukup beralasan, menempatkan al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani sebagai seorang mujtahid. Kemudian menarik pula untuk diketahui, mujtahid dalam kategori apa sesungguhnya al-Syeikh Muhammad Nawawi itu. Memasukkan al-Syeikh Muhammad Nawawi dalam kategori mujtahid tertentu itu penting, karena kategorisasi ini pula cenderung memberi ukuran kualitas pada kemujtahidan seorang mujtahid tertentu yang, dalam hal ini ialah al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani.
Kaitannya dengan kategorisasi atau macam-macam mujtahid itu, Mu-hammad Abu Zahrah30) membagi mujtahid itu pada lima macam atau tingkatan, yaitu:
1.    Mujtahid Mustaqill. Mujtahid yang tergolong dalam tingkatan ini ialah para mujtahid yang mandiri, yaitu mereka yang langsung mengeluarkan hukum-hukum syara' dari sumbernya, al-Kitab dan al-Sunnah; dan menemukan cara lain dalam mengeluarkan hukum syara' jika tidak didapat dari nash. Antar mereka tidak saling mengikuti kecuali kepada shahabat-shahabat Nabi. Yang termasuk mujtahid dalam tingkatan ini antara lain Sa'id ibn Musayyab, Ibrahim al-Nakha'i, Abu Hanifah, Malik, al-Syafi'i, Ahmad, al-Auza'i, al-Lais, Sufyan al-Sauri, dan lain-lain.
2.    Mujtahid Muntasib. Mujtahid yang termasuk dalam tingkatan ini ialah mereka yang memihak pada ketentuan-ketentuan Imam yang dipihakinya dalam hal-hal yang berkaitan dengan dasar-dasar istinbath meskipun dalam hal furu' mereka berbeda pendapat dengan Imamnya. Mujtahid yang termasuk dalam tingkatan ini antara lain Khalid ibn Yusuf (mazhab Hanafi), al-Muzani (mazhab al-Syafi'i), dan 'Abd al-Rahman ibn al-Qasim (mazhab Maliki).
3.    Mujtahid Mazhab. Yang dimaksud mujtahid mazhab ialah mereka yang dalam melakukan ijtihadnya mengikuti Imam mazhabnya, baik dalam ushul maupun furu'. Ijtihad mereka terbatas dalam masalah yang ketentuan hukum-nya tidak diperoleh dari mazhab anutan mereka.
4.    Mujtahid Murajjih. Yang dimaksud mujtahid murajjih ialah mereka yang dalam melakukan ijtihadnya tidak mengistinbathkan hukum-hukum, akan tetapi mereka melakukan pembandingan-pembandingan atas beberapa pendapat mujtahid, kemudian menentukan pilihan terhadap pendapat yang dipandang lebih kuat, baik penggunaan dalilnya maupun jaminan kemashla-hatannya dalam penerapan hukum.
5.    Mujtahid Mustadill. Yang dimaksud mujtahid mustadill ialah mereka yang dalam ijtihadnya tidak melakukan tarjih, tetapi hanya mencari dan mengemu-kakan dalil-dalil terhadap pendapat-pendapat yang ada, kemudian menjelaskan pendapat mana yang patut dipegang berdasarkan pertimbangan dalil-dalil tertentu tanpa melakukan tarjih.
Memperhatikan tingkatan dan macam-macam mujtahid seperti tersebut di atas, dengan menempatkan al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani sebagai seorang mujtahid yang telah memenuhi persyaratan-persyaratannya, maka perlu pula ditentukan, termasuk mujtahid dalam tingkatan atau macam apa al-Syeikh Muhammad Nawawi itu. Untuk memperjelas posisinya, perlu dilihat strategi-strategi, metode, dan teknik dalam ijtihadnya. Dalam aliran fiqhnya, al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani mengakui bahwa ia adalah pengikut mazhab Imam al-Syafi'i. Pengakuannya itu didukung oleh caranya melakukan ijtihad. Dalam masalah ushul misalnya, al-Syeikh Muhammad Nawawi berpendapat bahwa umat Nabi Muhammad itu terbagi kedalam dua golongan, yaitu umat al-Ijabah (muslim) dan umat al-Da'wah (kafir). Kedua golongan umat ini sama-sama dikenai taklif terhadap ajaran-ajaran atau hukum-hukum Islam, berdasar-kan prinsip al-Insu (manusianya).31) Oleh karena itu orang kafir menurut al-Syeikh Muhammad Nawawi, terkena titah (mukhathab) atau furu'-furu' syari'ah, misalnya wajib melaksanakan shalat,32) bukan hanya terkena titah untuk beriman (menjadi muslim) saja. Karena kesahan shalat itu ditentukan oleh kemusliman seseoranmg, maka orang kafir yang mengerjakan shalat, shalatnya tidak sah. Tetapi tidak berarti kekafiran itu meniadakan kewajiban shalat. Pendapat ini ternyata sama dengan, atau pengembangan dari pendapat Imam al-Syafi'i. Imam al-Syafi'i berpendapat bahwa orang kafir adalah mukallaf terhadap furu' al-syari'ah, yaitu mengerjakan kewajiban, meningggalkan yang haram, dan meyakini akan adanya yang mandub, makruh, dan mubah.33)
Dalam masalah furu', misalnya tentang keharusan dan syarat-syarat dua orang saksi laki-laki dalam akad nikah. Imam al-Syafi'i berpendapat bahwa dua orang saksi laki-laki dalam akad nikah itu adalah rukun. Kedudukannya sebagai rukun, dua orang saksi laki-laki itu harus hadir dalam pelaksanaan akad nikah.34) Pendapat tersebut diikuti dan dikembangkan oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani. Dalam pengembangannya, al-Syeikh Muhammad Nawawi menjelaskan bahwa keharusan hadirnya dua orang saksi dalam akad nikah itu ialah saksi-saksi yang mempunyai kecakapan secara hukum untuk bertindak sebagai saksi. Kecakapan dimaksud ialah bahwa saksi-saksi itu harus orang-orang merdeka dengan sempurna (bukan hamba), manusia yang betul-betul laki-laki, adil, tidak cacat panca indera, tidak berada dalam pengampuan, mempu-nyai pekerjaan atau kebiasaan yang terhormat, tidak mudah lupa, dan mengetahui (faham) bahasa pihak-pihak yang berakad.35)
Melihat wilayah ijtihad yang dilakukan oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi tersebut, nampak sekali bahwa ijtihad yang dilakukannya berada dalam ijtihadnya Imam al-Syafi'i. Dan berdasarkan rumusan macam-macam ijtihad tersebut di atas, memberi kejelasan bahwa al-Syeikh Muhammad Nawawi adalah seorang mujtahid mazhab, yang dalam hal ini ialah mazhab Imam al-Syafi'i. Jadi, al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani adalah seorang mujtahid mazhab Imam al-Syafi'i. Tetapi jika kemujtahidan al-Syeikh Muhammad Nawawi itu diukur dengan pembagian (macam-macam) mujtahid menurut al-Syeikh Nawawi sendiri, maka secara tersirat ia tidak mengaku sebagai seorang mujtahid.
Untuk pengukuran kemujtahidan tersebut di atas, perlu dilihat pembagian mujtahid menurut al-Syeikh Muhammad Nawawi. Secara rinci, ia membagi  mujtahid itu pada tiga macam, yaitu:36)
1.    Mujtahid al-Muthlaq, yaitu mujtahid yang mempunyai kemampuan mengis-tinbathkan hukum-hukum syara' dari dalil-dalilnya.
2.    Mujtahid al-Mazhab, yaitu mujtahid yang mempunyai kemampuan mengis-tinbathkan hukum-hukum syara' dari dalil-dalilnya berdasarkan pada kaidah-kaidah atau rumus-rumus Imam mazhabnya. Mujtahid yang termasuk ke dalam mujtahid mazhab ini antara lain, al-Muzani dan al-Buwaiti.
3.    Mujtahid al-Fatwa, yaitu mujtahid yang mempunyai kemampuan untuk me-lakukan tarjih terhadap pendapat Imam mazhabnya. Mujtahid yang termasuk ke dalam golongan ini antara lain aialah al-Nawawi dan al-Rafi'i.
Yang tidak termasuk pada bagian-bagian tersebut di atas disebut muqallid, bukan mujtahid, yaitu mereka yang hanya mengikuti dan mengem-bangkan ijtihad-ijtihad madzhab anutannya. Menurut al-Syeikh Muhammad Nawawi, yang termasuk muqallid itu antara lain, Muhammad al-Ramli dan Ibn Hajar al-Haitami.37) Muhammad al-Ramli, atau juga disebut al-Imam Muhammad al-Ramli, nama lengkapnya ialah Syams al-Din Muhammad ibn Abi al-'Abbas Ahmad ibn Hamzah ibn Syihab al-Din al-Ramli (w. 1004 H.), adalah pengarang kitab Nihayah al-Muhtaj yang  merupakan syarah atas kitab al-Minhaj. Ibn Hajar al-Haitami, nama lengkapnya ialah Syihab al-Din Ahmad ibn Hajar al-Haitami (w. 973 H.), ia adalah pengarang kitab Tuhfah al-Muhtaj yang juga merupakan syarah atas kitab al-Minhaj. Kedua ulama ini pengikut mazhab Imam al-Syafi'i, karena itu di belakang namanya biasa juga dibubuhi al-Syafi'i. Imam al-Ramli dan Imam al-Haitami yang pemikiran-pemikiran fiqhnya sering dijadikan acuan (rujukan) oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi, hanya dikatakan-nya sebagai muqallid. Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa al-Syeikh Muhamamad Nawawi tidak mengaku sebagai seorang mujtahid, dan atas kriteria yang dirumuskannya, al-Haitami dan al-Ramli sebagai muqallid, maka berarti (lebih-lebih) al-Syeikh Muhamamad Nawawi itu seorang muqallid.
Jika dihubungkan dengan macam-macam mujtahid menurut Abu Zahrah, maka terlihat bahwa mujtahid mazhab menurut al-Syeikh Muhammad Nawawi itu samalah artinya dengan mujtahid muntasib menurut Abu Zahrah. Sedangkan muqallid yang digambarkan oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi nampak lebih dekat pada mujtahid mazhab menurut Abu Zahrah. Di samping itu pula, meskipun ada ulama yang diistilahkan muqallid oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi, tidaklah keliru jika ulama itu juga diistilahkan dengan mujtahid, sebab mereka telah mencurahkan segenap kemampuan nalarnya dalam lapangan hukum-hukum syara. Atas pertimbangan-pertimbangan itulah cukup beralasan menyebutkan bahwa al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani adalah seorang mujtahid mazhab dalam mazhab Imam al-Syafi'i.

B. Kualitas Karya-karya al-Syeikh Muhammad Nawawi
Sebagaimana disebutkan di muka bahwa kitab-kitab karya al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani itu berkenaan dengan bidang-bidang fiqh, tauhid, tasawuf, tafsir, hadis, dan bahasa Arab, pembahasan-pembahasan dalam kitab-kitabnya itu kadangkala dalam satu kitab terdapat banyak bidang. Karena itu bidang bahasan ilmu fiqh dalam karya-karya al-Syeikh Muhammad Nawawi, tidak hanya terdapat dalam kitab yang secara nyata menampilkan judul fiqh. Untuk melihat kualitas pemikiran fiqh al-Syeikh Muhammad Nawawi yang tertuang dalam karya-karya yang hampir seluruhnya berbentuk syarah, perlu dilihat kualitas setiap karyanya itu.#
1. Kasyifah al-Saja
Kitab Kasyifah al-Saja adalah syarah atas kitab Safinat al-Naja fi Ushul al-Din wa al-Fiqh, sebuah buku kecil karya al-Syeikh Salim ibn Sumair al-Hadrami. Uraian fiqh dalam buku kecil ini dinyatakan oleh penulisnya adalah dalam mazhab Imam al-Syafi'i. Meskpun disebutkan oleh penulisnya, kitab kecil ini berisi uraian tentang ushul al-din dan al-fiqh, namun ternyata dalam isi-nya jauh lebih banyak bidang fiqhnya. Bahasan dalam kitab ini dipilah-pilah pada bentuk-bentuk fasal, yang meliputi 66 fasal; hanya 2 fasal yang pertama yang berisi uraian bidang ushul al-din, yaitu tentang jumlah rukun Islam, rukun Iman, dan makna kalimat tahlil. Selebihnya, yaitu 63 fasal, adalah bidang fiqh, yang dimulai dengan tanda-tanda kedewasaan (baligh), dan diakhiri dengan uraian tentang puasa.
Ringkasnya isi kitab Safinah al-Naja diperlihatkan pada uraian-uraiannya yang hanya menunjukkan poin-poin tertentu dari masing-masing fasal, tanpa disetai penjelasan-penjelasan. Misalnya lima rukun Islam, enam rukun Iman, tiga ciri-ciri dewasa (baligh), delapan syarat sah shalat, empat kewajiban pengurusan mayit (janazah), enam macam harta yang terkena kewajiban zakat, dan tiga rukun puasa; poin-poin dalam hitungan-hitungan tersebut hanya disebut satu persatu. Akibat uraiannya yang sangat singkat itu, kitab ini bisa dinilai sebagai pengetahuan dasar. Apalagi jika dilihat dari segi penggunaan dalilnya, uraian dalam kitab ini tidak satupun menunjukkan dalil atau sumber hukumnya. Demikian pula kitab ini tidak memberikan gambaran adanya masalah-masalah dan pemecahannya yang memperlihatkan fiqh sebagai suatu pemikiran. Meskipun dalam sub judul kitab ini tertulis fi ushul al-din wa al-fiqh, namun yang dimaksud nampaknya adalah koleksi atau kumpulan pokok-pokok keimanan dan hukum-hukum syara' yang ditransfer dari hasil-hasil ijtihad orang lain (literatur dan guru-guru penulisnya).
Terhadap kitab kecil, Safinat al-Naja tersebut, kemudian al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani menyusun syarahnya yang diberi nama Kasyifah al-Saja. Menurut penulisnya kitab syarah ini selesai dikerjakan pada tahun 1277 Hijriyah. Karena ada syarah, maka kitab Safinah al-Naja disebut matan. Pensyarahannya dilakukan dari sejak khutbah (pendahuluan) kitab ini sampai pada bagian akhirnya (penutup). Bagian pembukaan kitab matan berisi kalimat-kalimat al-basmalah, al-hamdalah, shalawat, dan hawqalah. Kalimat-kalimat tersebut nampak lebih berhubungan dengan masalah-masalah akidah (ushul al-din). Karena itu dalam syarahnya bersiri pembahasan-pembahasan tentang akidah yang meliputi sifat-sifat Allah dan sifat-sifat Rasul Allah, khusus-nya Nabi Muhammad SAW. Pembahasan bidang akidah inilah yang berlanjut sampai pada pensyarahan berikutnya tentang rukun Islam, Iman, dan eksistensi Allah sebagai pihak yang disembah. Demikian pula pada bagian akhir kitab matan yang berisi ungkapan ke-Mahatahuan Allah, do'a, dan shalawat, pensyarahannya berisi pembahasan tentang akidah. Jadi masalah ushul al-din yang sesungguhnya singkat sekali dikemukakan dalam kitab matan, menjadi luas dalam syarahnya. Bahkan pada bagian-bagian tertentu, misalnya maqam-maqam ibadah (halaman 13), kitab syarah memperlihatkan bahasan tasawuf.
Bahasan bidang fiqh yang dimulai dari ciri-ciri kedewasaan (baligh) dan diakhiri dengan pembahasan mengenai sesuatu yang masuk tenggorokan tapi tidak membatalkan puasa dalam kitab matan, disyarahi oleh al-Syeikh Muham-mad Nawawi dengan panjang lebar dan relatif lengkap. Dalam gaya pensyarah-annya dikemukakan pendapat-pendapat para ulama yang hampir seluruhnya dalam lingkungan pengikut mazhab Imam al-Syafi'i38) lengkap dengan rujukan sumbernya, dalil-dalil yang diambil dari al-Qur'an, al-Sunnah, al-Ijma', al-Qiyas, al-Istishhab, dan lain-lain, serta beberapa illustrasi sya'ir, contoh-contoh, dan bahkan pengungkapan masalah dalam bentuk teka-teki (halaman 101) dan hikayat (halaman 8). Mempelajari kitab syarh tersebut seolah-olah lupa akan kitab matannya. Untuk itu sesekali al-Syeikh Muhammad Nawawi dalam syarahnya menyebut mushannif (penyusun matan), atau dikatakan bahwa ia menambah bilangan rukun shalat di samping yang telah tertulis dalam kitab matan.
Di samping gaya dan cara-cara tersebut di atas, pengungkapan masalah, pemecahan masalah, dan sumber dari pendapat orang lain, al-Syeikh Muhammad Nawawi dalam syarahnya mengemukakan istilah-istilah: fa'idat, khatimat, far'u, tatimmat, tatmim, tanbih, tanbihat, i'lam, mas'alat, tazyil, taznib, tafsil, idah, tawdih, ghurrat, tabshirat, dan nuktah. Isi yang terkandung dalam ungkapan-ungkapan tersebut bukan hanya mengomentari uraian-uraian sebelumnya, tetapi yang paling banyak adalah uraian tambahan pendapat al-Syeikh Muhammad Nawawi sendiri. Dalam kitab Kasyifah al-Saja ini terdapat sebanyak 116 kali ungkapan-ungkapan tersebut, ditulis dengan jumlah yang bervariasi, berkisar antara 1-30 kali. Yang paling banyak digunakan ialah ungkapan far'u (far'un), fa'idat, dan tanbih.
Jika dilihat perbandingannya antara kitab matan dan kitab syarah, kelihatan sangat jauh perbedaannya. Meskipun Kasyifah al-Saja itu kitab syarah atas Safinah al-Naja, namun sedikit sekali yang isinya hanya komentar atas kitab matan. Yang paling banyak ialah uraian panjang lebar tentang pendapat al-Syeikh Nawawi sendiri dan sarat dengan sumber-sumber literatur yang disebutkan. Uraian yang pajang lebar itu juga ternyata tetap konsisten dengan kitab matannya. Ini nampaknya disebabkan karena uraian singkat dalam kitab matan itu, adalah seutuhnya berdasar pada pendapat Imam al-Syafi'i. Sebagai seorang Syafi'iyah, al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani yang juga penulis syarah, memang sama pendapatnya dengan al-Hadrami sebagai penulis matan, karena keduanya sama-sama Syafi'iyah. Jadi pada kesimpulannya, meskipun Kasyifah al-Saja itu kitab syarah, tetapi bahasan-bahasan orisinalnya dapat dibuktikan. Berarti lupa, penilaian atas tidak orisinalnya suatu karya hanya karena berbentuk syarah, dapat dibantah, paling tidak untuk karya al-Syeikh Muhammad Nawawi ini.
2. Sulam al-Munajat
Kitab Sulam al-Munajat adalah syarah atas kitab (matan) Safinah al-Shalah karya al-Sayid 'Abd Allah bin 'Umar al-Hadrami. Kitab Safinah al-Shalah berisi tuntunan praktis tentang shalat, dari sejak cara-cara bersuci sampai dengan pelaksanaan shalat, menurut mazhab Imam al-Syafi'i. Mengenai sistematika isinya, kitab matan ini terdiri atas tiga bagian yaitu, pendahuluan, isi, dan penutup. Pendahuluan berisi hamdalah dan shalawat; isi, meliputi dua bagian yaitu, akidah (makna kalimat Syahadatain), dan tuntunan shalat; sedang penutup berisi shalawat. Melihat porsi isi kitab tersebut, tepatlah dikatakan, kitab itu kitab fiqh. Karena singkatnya uraian, maka dalam buku itu tidak menunjukkan dalil-dalil, masalah-masalah, dan alternatif-alternatif yang mungkin ada di luar tuntunan shalat itu sekalipun masih dalam lingkungan mazhab Imam al-Syafi'i.
Dalam memperluas bahasan tentang shalat, al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani menulis kitab syarah atas kitab (matan) tersebut yang, kemudian diberi nama Sulam al-Munajat, pertama kali terbit pada tahun 1297 Hijriyah. Dalam penulisannya, pensyarahan dilakukan pada seluruh kitab matan tersebut, yaitu dari pendahuluan sampai dengan penutup. Pada pendahuluan yang hanya berisi hamdalah dan shalawat, al-Syeikh Muhammad Nawawi menulis syarahnya cukup panjang, yaitu sampai mengungkapkan "misteri" nama Muhammad (Rasulullah), dan menyusun tabel tentang al-Khulafa al-Rasyidun. Pada bagian isi, al-Syeikh Muhammad Nawawi membuat syarah sesuai dengan bagian isi dalam kitab matan, yaitu bidang akidah dan bidang tuntunan shalat. Pada bidang akidah yang meliputi pembahasan tentang makna syahadat, sifat-sifat Tuhan, dan sifat-sifat Rasul, khususnya Nabi Muhammad SAW, al-Syeikh Nawawi menyusun syarah cukup panjang. Dalam masalah iman, al-Syeikh Muhammad Nawawi menguraikan bagian-bagian iman (ajza'u al-iman), dan sampai pada konsep dan kedudukan kafir. Mengenai tuntunan shalat secara praktis, dalam syarahnya, al-Syeikh Nawawi mengemukakan dalil-dalil dari al-Qur'an atau al-Sunnah, mengemukakan masalah-masalah dan pemecahannya lengkap dengan sumber pengambilannya. Pada bagian penutup yang berisi shalawat dan hamdalah, dalam syarahnya, al-Syeikh Nawawi memperluas maksud shalawat yang dalam arti harfiahnya ialah mendo'akan Nabi, sedang hamdalah dinyatakan sebagai sifat bagi Allah.
Mengenai gaya pensyarahannya, al-Syeikh Muhammad Nawawi menge-mukakan tambahan-tambahan uraian di bawah pernyataan tanbih, far'un, dan i'lam; ungkapan ini semuanya berjumlah 7 kali. Kemudian, untuk mempermudah analisis, Nawawi menyusun tabel atau bagan tentang masalah-masalah tertentu. Dalam masalah penentuan arah kiblat, Nawawi membuat bagan pemetaan falakiyah; dalam masalah hubungan wudu, mandi., dan shalat, Nawawi membuat tabel linier; dan dalam pembahasan hikmah dan makna shalat, Nawawi membuat bagan dalam bentuk "pohon" ikhlas. Kemudian, dalam melengkapi penjelasan, al-Syeikh Muhammad Nawawi melengkapinya dengan illustrasi dengan masalah pembahasan.
Memperhatikan syarah yang disusun oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi tersebut, terlihat pembahasan yang luas yang bukan hanya menjelaskan atau mengomentasi kitab matannya. Hal ini misalnya diperlihatkan dalam pengungkapannya lewat bagan dan pembahasannya. Dalam kitab matan tidak dibicarakan bagaimana cara menentukan arah kiblat; sedangkan dalam syarah-nya, ketika membicarakan keharusan menghadap kiblat, Nawawi membicarakan arah kiblat dengan persyaratannya di bawah kata i'lam (ketahuilah), lalu meng-gambarkan dan menjelaskan rumus-rumus falakiyah untuk menentukan arah kiblat dengan contoh lokasi wilayah Banten. Rumus falakiyah itu kemudian di-lengkapi dengan gambar (bagan). Demikian pula ketika kitab matan mengakhiri uraian tentang kaifiyat shalat, al-Syeikh Muhammad Nawawi menjelaskan dalam syarahnya tentang hikmah shalat, baik dari segi gerak dan bacaannya maupun dari segi jumlah raka'at dan waktu-waktunya. Uraian tentang hikmah shalat ini kemudian ditunjukkan lewat gambar (bagan) bagian-bagian dan struktur shalat yang berbentuk pohon dengan akar, batang, ranting, daun, dan buah. Karena itu, meskipun Sulam al-Munajat karya al-Syeikh Muhammad Nawawi tersebut berbentuk syarah, namun dapat memperlihatkan kemandirian ide dan pemikiran-pemikirannya, sebab bukan hanya komentar terhadap kitab matannya. Dengan kemandirian yang diperlihatkannya itu, cukup beralasan jika dikatakan bahwa karya al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani ini adalah berkualitas sebagai karya mandiri.
3. al-Simar al-Yani'at fi al-Riyad al-Badi'at
Al-Syeikh Muhammad Hasba Allah ibn Sulaiman menulis kitab kecil yang ia sebut mukhtashar, yang kemudian diberi nama al-Riyad al-Badi'at fi Ushul al-Din wa Ba'ad Furu' al-Syari'at 'ala al-Imam al-Syafi'i. Kitab kecil inilah yang kemudian disyarahi oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani menjadi sebuah kitab yang diberi judul al-Simar al-Yani'at fi al-Riyad al-Badi'at. Atas munculnya pensyarahan ini, kitab al-Riyad al-Badi'at berarti kitab matan. Meskipun kitab matan ini diberi sub judul dengan fi ushul al-din wa ba'ad furu' al-syari'ah yang menggambarkan pembahasan bidang ushul al-din (akidah) dan sebagian kecil bidang syari'ah, namun dalam uraiannya ternyata sangat lebih banyak bidang fiqh. Karena itu, ungkapan wa ba'ad furu' al-syari-'ah, dinyatakan oleh al-Syeikh Nawawi, maksudnya ialah sisi tertentu bidang tasawuf. Ungkapan ini didukung oleh struktur dan sistematika kitab matan ini yang sebagian besar membahas bidang fiqh. Dari sistematikanya, kitab matan membagi uraiannya pada tiga bidang kajian, yaitu bidang akidah, bidang fiqh, dan bidang tasawuf. Bidang-bidang tersebut ditempatkan pada bagian-bagian kitab yaitu, bidang akidah ditempatkan pada pendahuluan yang sebetulnya merupakan khuthbah al-kitab (muqaddimah); bidang fiqh ditempatkan pada isi (tubuh) kitab; dan bidang tasawuf ditempatkan pada bagian penutup yang dalam ungkapannya dinyatakan dengan khatimah.
Dari segi isi atau materi bahasannya, dalam bidang akidah ditentukan kewajiban-kewajiban bagi mukallaf untuk mengetahui pokok-pokok agama Islam. Dikemukakan, ada empat kewajiban bagi mukallaf untuk mengetahuinya, yaitu mengetahui rukun Islam dan rukun Iman; mengetahui akidah-akidah yang meliputi keimanan terhadap sifat-sifat Allah dan Rasul-rasul Allah; mengetahui dan meyakini Malaikat, kemulyaan Nabi Muhammad SAW dengan segala tugasnya; dan kewajiban mengetahui syari'ah dan furu'nya. Bidang fiqh meliputi bahasan tentang thaharah, shalat, janazah, zakat, shiyam, haji dan umrah, dan tentang sumpah dan nazar. Bidang tasawuf membahas tentang ikhlash, amal saleh, taubat, dan memberi atau melaksanakan hak-hak Allah dan hak-hak sesama makhluk. Meskipun materi kitab matan tersebut nampak lengkap sebagai suatu pembahasan, namun pada uraiannya tidak disertai dalil-dalil atau penunjukan sumber-sumbernya. Demikian pula tidak ada penjelasan mengenai masalah-masalah pembatasan, baik yang menyangkut kata-kata konsep maupun statemen-statemen yang memerlukan penjelasan, misalnya bagaimana daya tampung lafaz tahlil itu terhadap seluruh keimanan kepada Allah.
Perluasan pembahasan, baik dari segi dalil, sumber-sumber pengam-bilan, penjelasan-penjelasan atau operasionalisasi konsep-konsep, maupun dari segi kelengkapan contoh-contoh dan masalah-masalah yang mungkin muncul, ternyata terdapat dalam syarah atas kitab matan tersebut. Syarah dimaksud adalah kitab al-Simat al-Yani'at fi al-Riyad al-Badi'at, yang disusun oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi. Dalam pensyarahannya, Nawawi melakukannya terhadap seluruh isi buku matan, yaitu dari sejak basmalah sampai dengan shalawat pada kata akhir kitab tersebut. Dalam masalah akidah, pensyarahan dilakukan dengan cukup luas, dari sejak penjabaran pengertian sifat-sifat Allah dan Rasul-Nya, sampai dengan nama-nama Rasul yang berjumlah 313 orang. Dalam masalah fiqh, Nawawi melakukan pensyarahan juga cukup luas. Misalnya, sebelum Nawawi membahas syarat dan rukun shalat, terlebih dahulu ia menjelaskan pengertian syarat dan rukun dengan panjang lebar, sehingga jelas penerapannya dalam kesatuan shalat. Dalam masalah tasawuf, meskipun yang dibicarakan adalah amaliah, namun dalam pembahasan syarahnya, pada bagian-bagian tertentu seperti lepas dari bahasan kitab matannya. Sedangkan dari segi gaya pensyarahan, al-Syeikh Nawawi melengkapinya dengan kata-kata titimmah, fa'idah, dan far'un, untuk keterangan tambahan yang sangat berharga. Demikian pula dilengkapi dengan illustrasi hikayat, sya'ir, dan pengandaian-penganadaian dalam masalah fiqh yang mungkin suatu saat akan timbul/terjadi.
Memperhatikan caranya menyusun kitab syarah, dan gayanya memecah-kan masalah, menempatkan buku syarah ini sebagai pemikiran al-Syeikh Muhammad Nawawi, adalah beralasan. Dalam pemikiran-pemikirannya itu pantaslah dikategorikan orisinil, dalam arti, sebagai pemikiran sendiri atau setidak-tidaknya mengembangkan pemikiran orang lain dengan gagasan-gagasan barunya. Bisa jadi, kitabnya sebagai syarah dianggap tidak orisinil gara-gara kitabnya berbentuk syarah, adalah tidak tepat. Berdasarkan hal ini dapatlah dikatakan bahwa kitab al-Simar al-Yani'at fi al-Riyad al-Badi'at, adalah mem-punyai kualitas yang baik sebagai layaknya tulisan ilmiah yang, salah satu cirinya adalah menampilkan hal-hal yang orisinil.
4. 'Uqud al-Lujain fi Bayani Huquq al-Zawjain
Dalam pengantarnya, al-Syeikh Muhammad Nawawi menyatakan bahwa kitab 'Uqud al-Lujain fi Bayani Huquq al-Zawjain ini adalah syarah atas sebuah risalah mengenai kehidupan suami isteri yang disusun oleh seseorang di antara para penasehat (al-Nashihin). Al-Syeikh Nawawi tidak menjelaskan siapa nama orang dimaksud yang menyusun risalah itu. Ada kemungkinan, yang dimaksud salah seorang penasehat itu adalah al-Syeikh Muhammad Nawawi sendiri, sebab ketika ia menamai kitab syarah ini, ia menyebutkan dengan kalimat wasammaituha (وسميتها); يamir ha (ها) tidak mungkin kembali kepada kalimat syarah (شرح), tapi yang mungkin ialah kepada kalimat al-risalah (الرساله). Pada kitab-kitab syarah yang lain menggunakan kalimat wasammaituhu (وسميته), dengan menggunakan damir hu (هُ). Dan syarah dimaksud adalah penyempurnaan dari risalah itu, sebab risalah yang disebutkannya, tidak mempunyai nama, hanya disebutkan subyeknya saja, yaitu persoalan  suami isteri (umur al-zawjain). Demikian pula dikatakan oleh al-Yasu'i, bahwa Nawawi adalah pengarang (shahib) 'Uqud al-Lujain fi Bayani Huquq al-Zawjain.39)
Terlepas dari dugaan tersebut, kenyataan dalam kitabnya memang ada matan, yaitu Risalah, dan ada syarah, yaitu yang diberi nama 'Uqud al-Lujain fi Bayani Huquq al-Zawjain, yang jelas ditulis oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani. Sesuai dengan matannya, pembahasan dalam kitab syarah ini yang terpenting terdapat 4 fasal, yaitu fasal-fasal yang menjelaskan hak-hak isteri atas suami, hak suami atas isteri, keutamaan shalat di rumah bagi isteri, dan haramnya melihat bagi laki-laki kepada perempuan atau sebaliknya.Di antara keempat fasal itu dikemukakan pula hal-hal lain, antara lain tentang pergaulan suami isteri yang baik, tentang akhlak isteri yang baik, dan tentang perhiasan yang dipakai oleh isteri. Seluruh isi kitab matan itu disyarahi oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi dari pengantar (khuthbah al-kitab) sampai dengan penutup.
Pensyarahan dilakukan dengan merujuk sumber pengambilannya, bahkan, sekalipun kitab ini tergolong kitab fiqh (bagian dari fiqh munakahat), Nawawi dalam syarahnya mengambil contoh dan dasar dari tasawuf. Lafaz basmalah dijelaskan sebagai lafaz yang secara fisik banyak mendatangkan  barakah, berkhasiat untuk penyembuhan, dan mengandung keajaiban. Pada akhir kitab disebutkan lafaz hamdalah yang oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi dikatakan sebagai ujung do'anya (bakal) penghuni surga. Sedangkan mengenai gaya pensyarahannya, dalam kitab ini juga dikemukakan sedikit sya'ir, dan juga ada tiga ungkapan fa'idah. Demikian pula banyak dikemukakan hadis-hadis Nabi yang berkaitan dengan kehidupan rumah tangga. Yang menarik dalam kitab ini ialah cukup banyak diungkapkan hikayat-hikayat, dari sejak keistimewaan basmalah sampai dengan keajaiban-keajaiban wanita (isteri) yang baik (shalihah). Hikayat dimaksud seluruhnya berjumlah 11 hikayat.
Memperhatikan gambaran matan dan syarah kitab 'Uqud al-Lujain, terlihat sekali mutu uraian syarahnya, meskipun kitab ini terhitung sederhana dan berukuran tipis (ada 22 halaman saja). Mutunya diperlihatkan melalui sumber-sumber yang dipakai oleh penulisnya, dalil-dalil (al-Qur'an dan al-Hadis) yang dikemukakannya, dan dominasi contoh-contoh dan hikayat-hikayat yang dikemukakannya.
5. Nihayat al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi'in
Kitab Nihayah al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi'in yang disusun oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani, adalah syarah atas kitab fiqh beraliran madzhab Imam al-Syafi'i, oleh penulisnya, Zain al-Din 'Abd al-'Aziz al-Mali-bari, diberi nama Qurrah al-'Ain bi Muhimmat al-Din. Karena ada pensyarahan maka berarti ada kitab matan, dan yang dimaksud adalah kitab Qurrah al-'Ain itu. Kitab matan ini, karena pendeknya uraian, yang oleh penulisnya disebut mukhtashar (teks uraiannya singkat), memang dirasa perlu ada pengembangan, atau ada yang menjadikannya sebagai standard penguraian-penguraian yang luas. Kaitan dengan hal ini, ternyata kitab matan tersebut disyarahi oleh dua orang, yaitu oleh penulis matan itu sendiri yakni al-Syeikh Zain al-Din ibn 'Abd al-Aziz al-Malibari (hidup pada abad ke-10 Hijriyah), dan oleh al-Syeikh Muhamamad Nawawi al-Bantani. Syarah yang disusun oleh penulis matannya diberi nama Fath al-Mu'in bi Syarh Qurrat al-'Ain. Adapun kitab syarah atas kitab matan yang disusun oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani diberi nama Nihayat al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi'in.
Sesuai dengan kitab matannya, Qurrah al-'Ain, sistematika materi pembahasan dalam Nihayah al-Zein sama dengan kitab matan tersebut. Pembahasan dimulai dengan bab shalat yang di dalamnya termasuk thaharah (bersuci), kemudian bab zakat, bab puasa, bab haji dan umrah, bab al-bay', bab nikah, bab jinayah/hudud, bab jihad, bab perhambaan (masalah budak). Sedangkan pembabakan kitab syarah, terbagi pada tiga babak, yaitu pendahu-luan, bahasan isi, dan penutup. Babakan pendahuluan berisi kata pengantar oleh penulis dan pengembangan, bahkan uraian yang cukup luas dari pendahuluan yang ditulis dalam kitab matan. Bahkan isi, standard materinya sama dengan kitab matan, yaitu dari bab shalat sampai dengan bab pembebasan/pemerdekaan budak. Sedangkan babakan penutup berisi pujian kepada Allah, harapan penulis sehubungan dengan karyanya, dan diakhiri dengan shalawat dan hamdalah. Babakan penutup ini sama sekali tidak ada kaitan dengan kitab matan, sebab kitab matan tidak mengemukakan penutup; dengan kata lain, babakan penutup adalah bukan syarah terhadap matan, jika syarah diartikan sebagai komentar atas kitab matan.
Dalam memulai penulisan kitab syarah ini, al-Syeikh Muhamamad Nawawi pada kata pengantarnya, dengan sangat merendah menyatakan bahwa, ia sebetulnya tidak punya andil apa-apa dalam pensyarahan ini, ia hanya banyak mengutip dari kitab-kitab yang ditulis oleh ulama-ulama terdahulu, yaitu kitab Nihayat al-Amal karya al-Syeikh Muhammad ibn Ibrahim Abi Khudair al-Dimyathi, kitab Nihayat al-Muhtaj ila Syarh al-Minhaj karya Syam al-Din Mu-hammad ibn Abi al-Abbas al-Ramli, dan kitab Tuhfah al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj karya Syihab al-Din Ahmad ibn Hajar al-Haitami. Demikian pula dari kitab-kitab yang lainnya yang tidak disebutkan dalam kata pengantar. Pernyata-an tersebut adalah wajar, sebab penulisan ilmiah selalu menghendaki sumber-sumber kepustakaannya.
Dari segi gayanya, pensyarahan oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi ini dilengkapi dengan uraian dan pendapat-pendapatnya sendiri tentang suatu masalah teretentu yang dituangkan dalam ungkapannya setelah menyebutkan kata-kata dabit, tatimmat, tanbih, fa'idah, far'un, khatimat, furu', muhimmat, dan takmil. Keseluruhan kata-kata tersebut ada sebanyak 63 kali tersebar di hampir setiap fasal. Demikian pula dilengkapi dengan kutipan-kutipan sya'ir, baik berisi penjelasan masalah yang bersangkutan maupun ulasan dari masalah-masalah sebelumnya yang penyebutannya sama dengan sya'ir. Uraian-uraian dalam syarah ditulis dengan cukup luas, terutama ketika menguraikan pokok-pokok fiqh yang tercantum dalam kitab matan. Dari sisi ini nampak terlihat bahwa al-Syeikh Muhammad Nawawi memperlakukan kitab matan itu sebagai pokok-pokok aturan fiqh beraliran mazhab Imam al-Syafi'i, yang sangat dimungkinkan bahwa pokok-pokok fiqh tersebut akan sama pula andaikata ditulis oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi dalam bentuk kitab matan. Kemung-kinan ini mengisyaratkan bahwa kitab matan oleh al-Malibari tersebut diper-lakukan sebagai standar oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi, sehingga kitab syarahnya bukan semata-mata komentar melainkan pemikiran dan pendapat-pendapat penulisnya, yaitu al-Syeikh Muhamamad Nawawi. Demikian pula pengungkapan dalil-dalil dari al-Qur'an dan al-Hadis terhadap masalah-masalah tertentu yang ternyata tidak dikemukakan dalam kitab matan, adalah juga menunjukkan bahwa syarah tersebut merupakan suatu pemikiran.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa kitab matan (Qurrah al-'Ain), disyarahi oleh penulis matannya sendiri, yaitu al-Malibari, dan disyarahi pula oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi, maka yang menarik untuk dilihat adalah perbandingan dari kedua syarah tersebut. Sekedar perbandingan, misalnya dalam masalah hukum shalat fardu, al-Malibari hanya menyatakan bahwa shalat yang hukumnya fardu 'ain itu ada lima waktu dalam sehari semalam, sedangkan al-Syeikh Muhammad Nawawi menyebutkan ada dua macam fardu 'ain, yaitu fardlu 'ain bi al-syar'i (shalat lima waktu), dan fardu 'ain bi al-nazar (shalat yang fardu karena nazar meskipun asal hukumnya sunnah). Contoh lain misalnya dalam masalah pengakuan (ikrar). Al-Malibari dalam syarahnya meng-artikan penjelasan-penjelasan sebagaimana yang secara singkat dikemukakan oleh kitab matan; sedangkan al-Syeikh Muhammad Nawawi, sebelum meng-uraikan lebih luas tentang pengakuan, terlebih dahulu ia menentukan unsur-unsur (rukun) pengakuan yang di dalam kitab matan dan kitab syarah oleh al-Malibari, tidak disebutkan. Inilah yang menunjukkan bahwa syarah yang disusun oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi adalah pemikiran dan pendapat-pendapatnya. Dan kitab matan yang disyarahinya diperlakukan sebagai standard fiqh menurut mazhab Imam al-Syafi'i.
6. Bahjat al-Wasa'il bi Syarh Masa'il
Al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani menulis kitab yang kemudian diberi nama Bahjat al-Wasa'il bi Syarh Masa'il. Terlihat dari namanya, kitab ini adalah syarah atas sebuah kitab yang bernama al-Risalat al-Jami'ah bayna Ushul al-Din wa al-Fiqh wa al-Tasawuf, karya al-Sayid Ahmad ibn Zein al-Habsyi. Karena ada kitab syarah, maka berarti ada pula penyebutan kitab matan, yang dalam hal ini adalah kitab al-Risalah tersebut di atas, dan kitab syarah adalah Bahjah al-Wasa'il itu.
Dalam kitab matan disebutkan oleh penulisnya bahwa isi kitab ini adalah pembahasan singkat masalah-masalah yang paling kaprah diketahui dan diamal-kan oleh orang banyak. Masalah-masalah itu diambil dari sebagian kitab-kitab karya al-Imam al-Ghazali. Secara epistemologis, kitab ini berupaya menyatukan aspek-aspek akidah, amaliyah, dan tasawuf. Upaya ini diperlihatkan dalam pem-bahasan yang meliputi tiga bidang, yaitu ushul al-din, al-fiqh, dan al-tasawuf. Dalam pembahasannya, bukan dalam bentuk perbandingan antar masing-masing aspek yang terpisah, melainkan diperlihatkan dalam bentuk satu kesatuan yang oleh penulisnya dinyatakan dengan ungkapan al-jami'ah, dengan tujuan agar orang dapat memahami dan mengamalkan yang lahir dan yang batin.
Dalam sistematikanya, di samping kata pengantar dan penutup, penu-lisan kitab ini dibagi ke dalam tiga bagian menurut pembidangannya, yaitu bagian pertama ushul al-din (akidah), bagian kedua tentang al-fiqh, dan bagian ketiga tentang tasawuf. Pembahasan dalam bidang ushul al-din meliputi rukun Islam, prinsip-prinsip keimanan tentang Allah, Rasul, Malaikat, dan Akhirat; pembahasan dalam bidang fiqh meliputi fardu wudu dan bersuci, syarat-syarat dan rukun-rukun shalat serta perbuatan-perbuatan yang menghilangkan nilai shalat, puasa, zakat, dan haji; sedangkan pembahasan bidang tasawuf meliputi kewajiban memelihara hati, penjelasan tentang macam-macam maksiat fisik (al-jawarih), dan tentang dosa-dosa besar (al-kaba'ir). Bagian-bagian tersebut dalam pembahasan syarahnya, diramu sebagai bidang-bidang yang saling ber-hubungan. Adanya hubungan itu ditunjukkan oleh pendapat penulis syarah (Nawawi) bahwa hakekat iman secara syar'i adalah pembenaran (al-tashdiq) terhadap segala sesuatu yang dibawa oleh Nabi Muhamamad SAW itu benar-benar dari Allah SWT (halaman 5). Yang dibawa oleh Nabi Muhammad itu adalah urusan-urusan akidah, perbuatan (amaliah), dan kebaikan-kebaikan hati, yang artinya bahwa akidah itu mendasari amaliah, dan amaliah yang didasari akidah itu membuahkan kebaikan hati.
Adapun dari gaya pensyarahannya, al-Syeikh Muhammad Nawawi mengungkapkan pendapat-pendapat dan pikiran-pikirannya yang menjabarkan kitab matan dan melengkapi serta memperluasnya. Dalam perluasan itu, al-Syeikh Muhammad Nawawi membukanya dengan ungkapan-ungkapan tatimmat, fa'idat, far'u, tanbih, lathifat, yang seluruhnya berjumlah 24 kali. Di antara isi dari ungkapan-ungkapan itu ialah hadis-hadis Nabi atau atsar shahabat. Dalam mengillustrasikan contoh-contoh, al-Syeikh Nawawi mengemukakan hikayat, dan dalam memperkuat pendapatnya, al-Syeikh Nawawi juga menggunakan kutipan-kutipan sya'ir. Karena itu kitab syarah ini juga adalah pemikiran-pemikiran al-Syeikh Nawawi sebagai penulisnya. Dan meskipun kitab ini membahas tiga bidang, namun ternyata pembahasan yang paling banyak adalah bidang fiqh. Atas dasar inilah nampaknya, Abu Loes mengkategorikan kitab Bahjat al-Wasa'il itu sebagai kitab fiqh.40)
7. Qut al-Habib al-Gharib
Pada awal abad ke-13 Hijriyah al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani selesai menyusun kitab yang diberi nama Qut al-Habib al-Gharib. Kitab ini merupakan tawsyih (pengembangan dari kitab syarah) yang, pengarang-pengarang lain semacam ini menyebutnya hasyiyah, terhadap kitab syarah yang bernama Fath al-Gharib al-Mujib karya Muhammad ibn Qasim al-Syafi'i. Kitab standard (matan) yang disyarahinya ialah Ghayat al-Taqrib karya Abu Syuja' Ahmad ibn al-Husain ibn Ahmad al-Asfihani, sebuah kitab fiqh menurut mazhab Imam al-Syafi'i. Memperhatikan hal di atas, terlihat adanya tingkatan penulisan kitab, yakni kitab matan, kitab syarah, dan kitab tawsyih; kitab Qut al-Habib al-Gharib adalah tingkatan yang ketiga.
Ketiga tingkatan kitab tersebut masing-masing ditulis oleh ulama peng-ikut madzhab Imam al-Syafi'i, sehingga yang ditampakkannya adalah tingkat bahasan uraian. Kitab matan merupakan kitab standard yang berpegang pada fiqh Imam al-Syafi'i. Karena itu isinya hanya membicarakan fiqh sebagai suatu aturan (hasil pemahaman), atau yang disebut dengan hukum-hukum fiqh; tidak menguraikan masalah-masalah fiqhiyah, dan tidak membahas proses munculnya hukum-hukum fiqh itu. Kemudian kitab syarahnya, yaitu Fath al-Qarib al-Mujib, berisi perluasan uraian dari kitab matan dengan tidak banyak menye-butkan dalil-dalil hukumnya, terutama dari al-Qur'an dan al-Hadis, kecuali ada sangat sedikit saja. Dari seluruh pembahasan, dimulai sejak pendahuluan dan kitab al-thaharah sampai dengan kitab memerdekakan budak dan penutup, hanya terdapat dua kali penunjukan dalil al-Qur'an dan dua kali al-Hadis. Perujukan dalil-dalil tersebut ternyata hanya masing-masing satu kali saja yang langsung menyebut ayat al-Qur'an atau isi al-Hadis, sisanya hanya menunjuk ayat atau isi hadits tertentu saja. Jadi kiranya dapatlah dikatakan bahwa kitab syarah tersebut adalah komentar dalam rangka memperjelas isi kitab matan.
Kitab syarah sebagaimana digambarkan di atas itulah yang kemudian diperjelas, diperluas, dan disempurnakan, terutama pengisian pendalilannya, oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi. Kitab yang memperjelas dan menyempurnakan syarah itu, oleh penulisnya, al-Syeikh Muhammad Nawawi disebut tawsyih, sehingga nama lengkap kitabnya ialah Qut al-Habib al-Gharib: Tawsyih 'ala Fath al-Gharib al-Mujib. Penjelasan dimaksud dalam kitab tawsyih ini ialah memperjelas uraian yang masih samar dalam kitab syarah. Misalnya, dalam kitab syarah disebutkan bahwa wasiyat itu ialah pemberian hak tanpa imbalan, kepada seseorang, yang disandarkan dengan terjadinya kematian pihak berwasiyat. Dalam tausyih dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan sandaran kematian ialah ungkapan wasiyat oleh seseorang, baik secara jelas (hakiki) disebutkan 'sesudah matinya', maupun tidak jelas disebutkan (taqdiri); seperti ungkapan: saya wasiyatkan harta sekian untuk Zaid; sama artinya dengan menyebut: sesudah saya wafat; meskipun kata-kata yang terakhir ini tidak disebutkan.
Uraian tawsyih yang isinya memperluas syarah ialah uraian yang amat sedikit oleh syarah, lalu diperluas oleh tawsyih. Misalnya tentang pengembalian atau penyerahan (radd) harta warisan kepada bayt al-mal bagi pewaris yang tidak mempunyai ahli waris ashabah berdasarkan nasab atau ashabah berdasarkan pemerdekaan perhambaan (al-wala). Kitab tawsyih memperluasnya dengan menyebutkan persyaratan bayt al-mal, yaitu penguasanya atau pejabat pemerintahnya harus Imam yang adil; jika tidak adil maka radd itu kepada zawi al-arham (nasab dari pihak ibu), demikian pula diuraikan teknik pelaksanaan radd. Sedangkan uraian yang berisi penyempurnaan terhadap kitab syarah ialah, kitab tawsyih mencantumkan dalil-dalil dari al-Qur'an, al-Hadis, dan dalil-dalil yang berdasarkan ijtihad. Misalnya tentang bagian sepertiga dari sisa harta waris (sulus al-baqi) adalah termasuk bagian waris yang telah ditentukan (furud al-muqaddarah); penetapan ini berdasar atas ijtihad. Demikian pula kitab tausyih menambah uraian yang berisi pendapat penulisnya atau pendapat orang lain yang memperkuatnya. Penambahan uraian ini dilakukan oleh penulisnya dengan terlebih dahulu mengungkapkan lafazh-lafazh fai'idat, tatimmat, qa'idat rafi'at, far'u, mas'alah, khatimat, dan tanbih. Ungkapan lafazh-lafazh tersebut tidak terdapat sama sekali dalam kitab syarah. Bahkan dalam kitab tawsyih (halaman 245), al-Syeikh Muhammad Nawawi mengkritik syarah yang menyatakan bahwa jika orang yang terkena kafarat karena pembunuhan tidak disengaja itu tidak kuat menjalankan puasa dua bulan berturut-turut, maka ia didenda agar memberi makan 60 orang miskin, adalah pendapat da'if; yang rajih ialah bahwa kafarat puasa dua bulan berturut-turut tersebut tidak bisa diganti dengan memberi makan 60 orang miskin meskipun terkafarat tidak mampu; dasarnya ialah wirid (sunnah Nabi).
8. Mirqat Shu'ud al-Tashdiq
Al-Syeikh 'Abd Allah ibn al-Husain ibn Hakim ibn Muhammad ibn Hasyim Ba'alawi (w. 1266 H.), menulis kitab kecil tentang tasawuf, fiqh, dan kalam, yang kemudian diberi nama Sulam al-Tawfiq. Pembahasan dalam kitab ini disusun berbentuk pasal-pasal yang seluruhnya berjumlah 37 pasal.  Pasal-pasal tersebut dibagi menjadi tiga bagian yaitu: bagian pertama, 3 pasal mengenai ilmu kalam; bagian kedua, 23 pasal mengenai ilmu fiqh; dan bagian ketiga, 11 pasal mengenai ilmu tasawuf. Meskipun sudah ada pembagian-pem-bagian seperti itu, namun ternyata pada bagian-bagian ilmu kalam dan ilmu tasawuf, terdapat pembahasan ilmu fiqh. Misalnya hukum murtad dalam kajian akidah; pidana peminum khamer, penuduh zina, denda zhihar, pidana pencurian, pembunuhan, zina, dan perampokan, ada dalam pembahasan ilmu tasawuf. Isi uraian dalam kitab matan ini sangat singkat, tidak mengemukakan dalil-dalil dan tidak mendefinisikan konsep-konsep.
Terhadap kitab matan tersebut, kemudian al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani menyusun syarahnya dengan cukup luas. Kitab syarah ini diberi nama Mirqat Shu'ud al-Tashdiq fi Syarh Sulam al-Tawfiq. Isi pemba-hasannya, sesuai dengan standard kitab matannya, sebagian besar adalah dalam bidang fiqh. Karena itu cukup beralasan jika kitab ini dikategorikan sebagai kitab fiqh. Di samping itu, pembahasan dalam bidang tasawuf juga berkisar pada tasawuf akhlaqi yang dalam uraian syarah ini banyak mengacu pada pendapat al-Ghazali, atau ulama-ulama lain yang pendapatnya serupa. Dalam syarah ini nampak keluasan uraian dan pembahasan sehinggan kitab matan laksana diper-lakukan sebagai kitab standard yang, uraian tentang ilmu kalamnya berdasar mazhab ahl al-sunnah wa al-jama'ah, uraian ilmu fiqhnya berdasar pada mazhab Imam al-Syafi'i, dan uraian tasawufnya berdasar pada al-Ghazali atau tasawuf akhlaqi. Karena luasnya uraian dalam syarah, terasa sekali kedalaman isi dari kitab tersebut.
Dalam gayanya, kitab syarah membahas masalah-masalah dengan terlebih dahulu mendefinisikan subyek yang dipemasalahkan. Misalnya dalam pembahasan masalah wukuf di Arafah bagi jama'ah haji. Sebelum dibahas lebih dalam, terlebih dahulu masalah itu dirumuskan dalam suatu definisi (batasan), apa yang dimaksud wukuf di Arafah itu. Melalui pendefinisian itulah kemudian konsep wukuf dioperasionalisasikan sehingga dapat ditentukan hal-hal yang masih termasuk wukuf dan hal-hal yang tidak termasuk wukuf (halaman 45). Dalam rumusan pendefinisiannya, yang menjadi dasar ialah dalil-dalil al-Qur'an dan al-Hadis serta pendapat-pendapat ulama. Karena itu gaya syarah ini juga adalah pelengkapan dalil-dalil dari al-Qur'an dan al-Hadis, dan dilengkapi pula dengan pendapat-pendapat ulama yang, dalam kitab matan hampir tidak didapatkan. Dalam gaya pensyarahan juga terdapat ulasan atau keterangan tersendiri yang ditulis oleh penulisnya dalam syarah, diungkapkan di bawah pernyataan-pernyataan fa'idah, far'un, dan tanbih.
9. Al-Syu'ab al-Imaniyat dan al-Futuhat al-Madaniyat
Kitab kecil dalam bentuk risalah yang kemudian oleh penulisnya, al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani, diberi nama al-Syu'ab al-Imaniyah ini, disusun dengan sangat sederhana. Isinya hanya garis-garus besar tentang keyakinan, perbuatan, dan pandangan, yang termasuk ke dalam cabang-cabang keimanan yang seluruhnya berjumlah 78 butir. Dalam setiap butir tidak diuraikan penjelasannya dan tidak pula didukung oleh dalil al-Qur'an atau al-Hadis. Menurut penulisnya, kitab kecil (risalah) ini disusun dengan berpegang pada dua sumber pokok, yaitu: kitab al-Niqayah karya al-Sayuhti, dan kitab al-Futuhat al-Makiyat karya al-Syeikh Muhammad ibn 'Ali. Dari kedua sumber itulah butir-butir tentang cabang-cabang keimanan itu disusun dan disistemati-sasikan. Dari sejumlah butir itu, ternyata lebih dari 24 butir berisi bidang-bidang fiqh.
Kitab matan yang singkat itu kemudian disusun syarahnya oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi sendiri yang kemudian diberi nama al-Futuhat al-Madaniyat. Syarah inilah yang memperluas keterangan butir-butir cabang keimanan itu dan melengkapinya dengan dalil-dalil dari al-Qur'an dan al-Hadis. Demikian pula syarah itu melengkapinya dengan pendapat-pendapat ulama, dan contoh-contoh dalam bentuk hikayat. Dengan kelengkapan-kelengkapan tersebut, cabang-cabang keimanan menurut kitab matan nampak menjadi jelas maksud dari tulisan matan itu.
10. Maraqi al-'Ubudiyat
Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali menulis kitab yang diberi nama Bidayat al-Hidayat. Kitab ini berisi petunjuk-petunjuk praktis tentang amalan ibadah, menghindari maksiat, dan hubungan baik. Corak petunjuk-petunjuk itu lebih bersifat tata krama karenanya, kitab ini bisa dimasukkan pada kategori kitab akhlak. Kemudian kitab tersebut disyarahi oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi, dan kitab syarah itulah yang kemudian diberi nama oleh penulisnya dengan Maraqi al-'Ubudiyat. Karena ada syarah, maka kitab Bidayat al-Hidayatdisebut kitab matan.
Sehubungan dengan materi bahasan dalam kitab matan, pembahasan dalam kitab syarah tidak keluar dari pokok-pokok materinya. Karena pensyarahan itu lebih memperlihatkan keluasannya, maka uraian pembahasannya telah melampaui corak akhlaknya, yaitu disoroti dengan muatan fiqh, terutama pada masalah-masalah ibadah. Jadi, meskipun dalam topik pembahasannya disebutkan misalnya, bab adab (tata krama) masuk kamar kecil (WC) sebagaimana disebut-kan dalam kitab matan, namun syarah memperluasnya pada pembahasan fiqh-nya, bukan sekedar tata krama. Misalnya dalam hal larangan menghadap atau membelakangi kiblat pada waktu buang air kecil/besar. Dalam kitab matan, larangan ini adalah sepanjang muatan tata krama. Sedang dalam uraian syarah dikatakan, haram hukumnya. Dijelaskan pula bahwa yang dianggap menghadap atau membelakangi kiblat itu ialah 'ain farjinya, bukan dada seseorang sebagai-mana dalam shalat.
Adapun gaya dalam pensyarahannya oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi, adalah dengan melengkapi dalil-dalil al-Qur'an dan al-Hadis, kemudian pendapat-pendapat ulama. Dalam memperkuat pendapatnya, penulis syarah melengkapinya dengan banyak sekali ungkapan-ungkapan atau kutipan-kutipan sya'ir. Untuk memperlihatkan pendapat penulis sendiri, dalam syarah antara lain disebutkan pendapat-pendapatnya di bawah pernyataan tatimmat, dan tanbih. Sedangkan peluang untuk memudahkan penalaran pembaca pada pembahasan penulis, pensyarahan juga dilengkapi dengan contoh-contoh hukayat (cerita), dan gambar petunjuk arah kiblat dalam perhitungan falakiyah. Dari gayanya ini, dalam kitab syarah juga banyak ide-ide, gagasan-gagasan, dan pendapat penulisnya sendiri.


11. Tanqih al-Qawl al-Hasis
Kitab Tanqih al-Qawl al-Hasis adalah syarah atas kitab Lubab al-Hadiskarya al-Hafizh Jalal al-Din 'Abd al-Rahman ibn Abi Bakr al-Sayuthi. Karena ada syarah (Tanqih al-Qawl al-Hasis) maka kitab Lubab al-Hadis adalah kitab matan. Kitab Lubab al-Hadis adalah kitab yang berisi kumpulan hadis-hadis tentang bermacam-macam keutamaan (fadilat). Materi pokok yang mempunyai keutamaan-keutamaan itu secara garis besar meliputi bidang-bidang ilmu pengetahuan, lafazh-lafazh tauhid, akidah, ibadah, mu'amalah, jinayah, akhlak, dan tasawuf. Seluruh pembahasannya dikelompokkan pada 40 bab. Hadits-hadits yang dihimpun dalam seluruh bab itu, oleh penulisnya, tidak dicantumkan isnad-nya dengan maksud untuk meringkas.41) Lalu dikatakan oleh penulisnya bahwa hadis-hadis yang dihimpun itu semuanya adalah hadis shahih.
Terhadap kitab matan tersebut kemudian al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani menulis kitab syarahnya yang diberi nama Tanqih al-Qawl al-Hasis. Pada pendahuluannya dikatakan bahwa tujuan pensyarahan adalah untuk memberi petunjuk kepada pembaca, khususnya orang-orang Jawa, agar tidak terjadi kesalahpahaman. Maksud pernyataan ini ialah, apa yang dikatakan oleh penulis matan bahwa semua hadis yang dihimpunnya itu shahih, ternyata sebe-tulnya ada yang hasan dan bahkan ada yang da'if, meskipun hadis da'if sendiri tidak boleh diabaikan. Karena itu dalam pensyarahannya, al-Syeikh Muhammad Nawawi melengkapi himpunan hadis-hadis itu dengan isnadnya, dan mengemukakan pula hadis-hadis lain yang senada dengan pembahasan, baik untuk perbandingan maupun untuk memperkuat kedudukan dan kualitas hadisnya, yang biasa disebut sebagai syahid. Konsekwensi dari pelengkapan hadis-hadis itu dengan isnad adalah diperlihatkannya hadis-hadis hasan, dan hadis-hadis da'if yang dihimpun oleh kitab matan. Misalnya hadis tentang hukuman psikhis bagi orang yang tiga kali berturut-turut dengan sengaja meninggalkan shalat jum'at; menurut al-Syeikh Muhammad Nawawi, hadis ini adalah hasan, bukan shahih. Hadis tentang masjid sebagai "rumah" setiap mu'min; menurut al-Syeikh Muhammad Nawawi adalah da'if, bukan shahih.
Dari segi gayanya, pensyarahan oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi menunjukkan keluasannya. Pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi sendiri nampak, baik pada pelengkapan isnad hadis-hadis, maupun penambahan hadis-hadis dan pengertian-pengertiannya. Demikian pula diperlihatkan dalam pernyataannya di bawah kata-kata tanbih dan khatimat, serta pengungkapan kisah Sayidina Abi Syahmah, dalam kasus perzinaan karena mabuk (minum khamer). Sedangkan dilihat dari materi pembahasannya, yang ditunjukkan oleh kitab syarah, hampir seluruhnya adalah bidang fiqh. Meskipun topik dalam sub pembahasan itu misalnya tentang keuta-maan shadaqah (fadilah al-shadaqah), namun dalam uraian syarahnya dibica-rakan hukum shadaqah dilihat dari cara memberinya, benda yang diberikannya, dan pihak yang menerimanya. Karena itu, kitab Tanqih al-Qawl al-Hasis, ber-alasan jika dimasukkan bidang dan untuk studi ilmu fiqh.
12. Marah Labid li Kasyfi Ma'na al-Qur'an al-Majid
Al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani menulis kitab tafsir al-Qur'an setebal dua jilid yang, menurutnya selesai ditulis pada tanggal 4 Rabi' al-Akhir tahun 1305 Hijriyah. Kitab tafsir ini tergolong pada corak tartibi, sebab menafsirkan ayat demi ayat sesuai dengan urutan ayat dalam mushhaf, tidak berdasar pada tema tertentu. Karena itu dirasakan sulit menghubungkan satu ayat dengan ayat yang lainnya dalam satu tema yang oleh ayat-ayat itu disebut-kan. Meskipun demikian, dalam kitab tafsir itu juga al-Syeikh Muhammad Nawawi menafsirkan ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum (ayat ahkam). Hasil-hasil penafsirannya itu adalah berarti fiqh (hukum-hukum syara'). Karena itu dalam tafsir ini juga berarti ada pembahasan fiqh secara langsung.
Dalam menyusun kitab tafsir ini, al-Syeikh Muhammad Nawawi menge-mukakan bahwa acuan dasar penafsirannya adalah diambil dari kitab-kitab: al-Futuhat al-Ilahiyah, Mafatih al-Ghayb, al-Siraj al-Munir, Tanwir al-Miqbas, dan Tafsir Abi al-Su'ud. Kitab-kitab tersebut yang tergolong tafsir, dilihat dari corak penyusunannya adalah tafsir tartibi, karena itu sama coraknya dengan tafsir Marah Labid. Coraknya yang tartibi itu, ternyata pula dalam tafsir Marah Labid tidak tercantum nomor-nomor ayat pada setiap surah, sehingga menyulit-kan batasan-batasan ayat dan mencari ayat-ayat tertentu dari berbagai surah. Untuk itu, harus dilakukan penelusuran urut sejak dari awal surah, demikian pula jika hendak melihat ayat-ayat ahkam yang ditafsiri oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani.

13. Qami' al-Thughyan
Salah satu kitab kecil yang corak pembahasannya menggunakan susunan nazham atau dalam bentuk sya'ir, dinamakan oleh penulisnya dengan Syu'ub al-Iman. Penulis dimaksud ialah al-Syeikh Zein al-Din ibn 'Ali ibn Ahmad al-Malibari. Sya'ir yang disusun oleh penulisnya sebanyak 26 bait dengan irama bahar al-Kamil. Sebanyak 7 bait berisi masalah akidah, 10 bait berisi masalah fiqh, dan 9 bait mengenai tasawuf. Meskipun dalam jumlah kelihatannya seimbang antar bidang-bidang pembahasannya, namun sebenarnya bidang fiqh itu lebih besar, karena dalam bidang akidah dan tasawuf ternyata ada pembahasan bidang fiqhnya. Kitab inilah yang kemudian disyarahi oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi dengan tujuan untuk mempermudah dan memperluas pembahasan.
Dalam menyusun syarahnya, al-Syeikh Muhamamad Nawawi menambah 3 bait yang ditempatkan pada pertama kali kitab. Kemudian menambahkan pula 1 bait yang berasal dari al-Syekh 'Abd al-Mun'im, dan ditempatkan pada akhir kitab. Atas penambahan-penambahan itulah pada akhirnya seluruh bait berjumlah 30, dan inilah yang ada dalam kitab syarah. Oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi, kitab syarah itu diberi nama Qami' al-Thughyan. Meski-pun bait-bait tambahan itu ada dalam kitab syarah, namun dalam pensyarahan-nya termasuk juga bait-bait yang disyarahi. Karena itu, untuk mempermudah analisis, semua bait yang berjumlah 30 itu dikatakan sebagai kitab matan.
Dalam gaya pensyarahannya, setiap bait dijelaskan maksudnya dan bahkan diisi uraian-uraian  yang relatif luas, seolah-olah lepas dari matannya. Keluasan dalam uraian itu ditandai dengan menampilkan dasar-dasar dari al-Qur'an dan al-Hadis, bahkan juga menghiasinya dengan kutipan-kutipan sya'ir. Pengisian pelengkapan syarah juga dilakukan oleh penulis syarah dengan menempatkan uraian di bawah kata-kata tanbih, fa'idat, dan i'lam. Sedangkan contoh-contoh yang penting, dikemukakan di bawah kata-kata hikayah, hukiya, dan yuhka, yang isinya cerita-cerita atau contoh-contoh kasus. Cerita-cerita ini seluruhnya disebutkan sebanyak 5 kali. Di akhir pensyarahannya, al-Syeikh Muhammad Nawawi menjelaskan tentang orang-orang yang termasuk keluarga dan kerabat Nabi Muhammad saw, untuk mengukur sesungguhnya siapa saja yang termasuk keluarga dan kerabat Nabi yang mempunyai hak untuk termasuk pada sebutan shalawat; Allahumma Shalli 'ala Muhammad wa 'ala Ali Muham-mad.
14. Salalim al-Fudala
Ada sebuah kitab kecil yang gaya penulisannya berbentuk nazham (sya'ir), ditulis oleh seorang ulama yang bernama Zain al-Din ibn 'Ali al-Ma'bari al-Malibari. Kitab tersebut diberi nama oleh penulisnya dengan Hidayat al-Azkiya ila Thariq al-Awliya. Nazham atau sya'ir yang disusunnya itu seluruh-nya berjumlah 194 bait yang tersebar pada 23 tema atau pokok bahasan termasuk pendahuluan dan penutup. Kitab ini kemudian disyarahi masing-masing oleh, al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani, dan oleh al-Sayid Bakri al-Maki ibn al-Sayid Muhammad Syatha al-Dimyathi.
Al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani menulis syarah atas kitab (matan) tersebut dengan nama kitabnya Salalim al-Fudala. Menurut penulisnya, kitab syarah ini diselesaikan pada tahun 1293 Hijriyah. Kemudian al-Sayid Bakri al-Maki juga menulis syarah atas kitab (matan) tersebut dengan nama kitabnya Kifayah al-Atqiya wa Minhaj al-Ashfiya, yang diselesaikan pada tahun 1302 Hijriyah. Dilihat dari waktu penyelesaiannya, kedua syarah atas satu kitab (matan) tersebut adalah lebih dahulu yang ditulis oleh al-Syeikh Muham-mad Nawawi dari pada yang ditulis oleh al-Sayid Bakri; konkritnya, ada selisih sembilan tahun. Dilihat dari materi, gaya, dan kelengkapan penjelasannya, meskipun belum dilakukan studi perbandingan, banyak kemungkinan berbeda. Dan dalam kajian ini hanyalah pada karya al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani.
Dari segi materi pokok pembahasan dalam kitab matan, ternyata hampir seluruhnya membahas bidang tasawuf. Karena itu dalam syarah juga demikian. Namun, karena pembahasan tasawuf itu kebanyakan bersifat akhlaqi, yang menekankan segi-segi perbuatan fisik (al-jawarih), maka penjelasan yang berwarna fiqh juga banyak ditampakkan. Penampakan yang pertama-tama adalah tentang teori syari'at, thariqat, dan haqiqat, sebagai cara (al-thariq) untuk dapat sampai kepada Allah SWT. Dikatakan (halaman 8), yang dimaksud syari'at ialah perbuatan fisik (jawarih) dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Pemahaman untuk memperoleh pengetahuan tentang perintah-perintah dan larangan-larangan Allah itulah yang dimaksud dengan fiqh.
15. Nasha'ih al-Ibad
Kitab yang bernama Nasha'ih al-Ibad ditulis oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani, merupakan syarah atas kitab (matan) al-Munabbihat 'ala al-Isti'dad Liyawmi al-Ma'ad, karya Syihab al-Din Ahmad ibn Hajar al-'Asqalani. Kitab matan, menurut penulisnya, berisi maw'izhah (petunjuk-petunjuk kebaikan) sebanyak 214 materi, dengan rincian sebanyak 45 materi berasal dari Hadis-hadis Nabi, dan sebanyak 79 materi berasal dari ucapan shahabat dan ulama-ulama terkemuka. Dilihat dari isi pokoknya, kitab ini menunjukkan kitab akhlak atau tasawuf. Tetapi karena juga ada materi-materi yang menyangkut masalah-masalah fiqh, maka kitab ini berarti juga ada bagian fiqhnya. Dalam sistematika penyusunannya, kitab matan tersebut dibagi pada sembilan bab. Secara berurutan, dari bab satu, isi materinya disusun berdasarkan butir-butir dalam tiap materi. Pada bab pertama, yang disebut bab al-Suna'i, berisi maw'izhah-maw'izhah, yang masing-masing maw'izhah terdapat dua butir. Bab tiga (al-Sulasi), setiap maw'izhah terdiri dari tiga butir. Demikian seterusnya sampai pada bab sembilan yang isi maw'izhahnya terdapat masing-masing sepuluh butir (al-Usyuri).
Dalam kitab syarah, rincian bab yang disebut maw'izhah oleh kitab matan itu, disebut al-maqalah, sehingga tiap-tiap bab terdiri dari maqalah-maqalah. Setiap maqalah terdiri dari butir-butir yang sistematikanya sebagai-mana dalam kitab matan, yaitu dua butir-dua butir, tiga butir-tiga butir, dan seterusnya sampai sepuluh butir-sepuluh butir. Jumlah maqalah seluruhnya adalah 214; setiap awal bab dimulai dengan menyebut maqalah kesatu (al-maqalat al-Ula).
Dalam gaya pensyarahannya, al-Syeikh Muhammad Nawawi memper-luas uraian, komentar, dan pendapatnya sendiri. Nama-nama shahabat dan ulama yang pendapat atau kata-katanya dikutip al-Syeikh Muhammad Nawawi dalam syarahnya menjelaskan nama lengkap sampai dengan urutan nasabnya. Hadis-hadis dilengkapi dengan menyebut sanad dan perawinya, bahkan dijelaskan pula kualitasnya. Dalam mempeeluas uraiannya, al-Syeikh Muhammad Nawawi mengutip pula hadis-hadis lain, ucapan shahabat dan ulama-ulama. Mendefinisikan kata-kata konsep, dan bahkan melengkapinya dengan kutipan-kutipan sya'ir. Karena itu uraian-uraian dalam kitab syarahnya, adalah orisinil pendapat al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani, atau pemikiran-pemikirannya.
16. Kitab-kitab Lain
Di samping kitab-kitab yang berisi ilmu fiqh atau kitab yang di dalamnya ada pembahasan fiqh sebagaimana disebutkan di atas, masih ada lagi kitab yang dikarang oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi yang berisi ilmu kalam (tauhid) dan sirah Nabi Muhammad SAW.  Al-Syeikh Muhammad Nawawi menulis kitab yang diberi nama Qathr al-Ghais yang merupakan syarah atas Masa'il Abi al-Lais karya al-Iman Abu al-Lais yang dikenal dengan nama lengkap: Nashir ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Ibrahim al-Hanafi al-Samarqandi. Kitab ini membahas 17 masalah akidah. Di dalamnya ada terselip pembahasan bahwa perbuatan-perbuatan ibadah sebagaimana ditetapkan dalam dan oleh fiqh, adalah furu' dari iman, bukan hakekat iman.
Kitab yang bernama Tijan al-Darari ditulis oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi sebagai syarah atas kitab Risalah al-Bajuri li al-Tawhid, karya al-Syeikh Ibrahim al-Bajuri. Dalam syarahnya, al-Syeikh Muhammad Nawawi membahas masalah-masalah dengan cukup luas, dan menunjukkan bahwa kitab matan diperlakukannya sebagai kitab standard. Isinya ialah tentang keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya melalui sifat-sifat yang wajib, mustahil, dan ja'iz; nasab Nabi Muhammad SAW, baik garis ke atas maupun garis ke bawah. Dalam syarah, sifat-sifat Allah dibahas dengan cukup luas, misalnya tentang keesaan Allah (wahdaniyah), al-Syeikh Nawawi mengemukakan teori kam munfashil dan kam muttashil, dalam pembahasannya. Pembahasan yang serupa dikembangkan pula dalam kitab Fath al-Majid, sebagai syarah atas kitab al-Dar al-Farid, karya al-Syeikh Ahmad al-Nahrawi. Kitab ini membahas sifat-sifat Allah dan Rasul Allah, fungsi Rasul, dan masalah-masalah akhirat. Kitab lain yang membahas ilmu kalam (tauhid) yang ditulis oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi ialah Nur al-Zhulam, sebagai syarah atas kitab 'Aqidat al-'Awam, karya al-Sayid Ahmad al-Marzuqi al-Maliki al-Maki. Kitab (matan) ini ditulis dalam bentuk nazham yang berjumlah 57 bait. Isi kitab ini meliputi sifat-sifat Allah dan Rasul-Nya, keimanan kepada Malaikat dan Kitab-kitab Allah, dan tentang keturunan Nabi Muhammad SAW. Dalam syarahnya, al-Syeikh Muhammad Nawawi membahas panjang lebar dengan kelengkapan dalil-dalil al-Qur'an dan al-Hadits, bahkan mengemukakan pula pendirian mazhab-mazhab ilmu kalam, dan ada sedikit yang menyinggung masalah fiqh, misalnya masalah aurat.
Dalam bidang yang berkaitan dengan sirat al-Nabawiyyat (riwayat perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW) dan hal-hal yang berkaitan dengan keistimewaan (abqariyat) Nabi, ada kitab matan bernama al-Mawlid al-Nabawi yang ditulis oleh al-Sayid Ja'far al-Barzanji. Kitab ini berisi keterangan tentang masa dan situasi ketika Nabi Muhammad dilahirkan, keturunan (nasab) dan keistimewaan-keistimewaan Nabi, bahkan gambaran fisik Nabi. Terhadap kitab ini, al-Syeikh Muhammad Nawawi menyusun syarahnya yang diberi nama Madarij al-Shu'ud ila Iktisa'i al-Burud. Dalam uraian syarahnya, al-Syeikh Muhammad Nawawi melengkapi keterangan-keterangan dan kutipan-kutipan sya'ir, serta riwayat-riwayat menurut pendapat yang berbeda. Misalnya pendapat-pendapat tentang waktu terjadinya Isra dan Mi'raj, dan tentang waktu ketika terlaksananya perjalanan Isra dan Mi'raj itu.
Kemudian ada lagi kitab yang berisi keterangan tentang sejarah, keisti-mewaan, dan gamabaran-gambaran fisik Nabi Muhammad SAW. Menurut al-Syeikh Muhammad Nawawi, kitab ini ada kemungkinan disusun oleh dua orang yaitu, yaitu al-Syeikh Ahmad ibn al-Qasim dan Ibn al-Jawzi. Kitab tersebut berbentuk risalah dengan gaya penyusunan berupa nazham (al-abyat) pada bagian pertama, dan pada bagian akhir ditulis dengan gaya prosa (al-mansurat). Karena itu, al-Syeikh Muhammad Nawawi yang menulis syarah atas kitab (matan) tersebut, memberinya dua nama, yaitu Fath al-Shamad al-'Alim 'ala Mawlid al-Syeikh Ahmad ibn al-Qasim, atau al-Bulugh al-Fawzi li Bayani Alfazh Mawlid ibn al-Jauwzi. Dalam isinya, ternyata kitab syarah ini mengandung pula pembahasan tentang fiqh, misalnya masalah hukum perkawinan.





1)       Ma'ruf Amin, Syeikh Nawawi al-Bantani: Riwayat Hidup dan Perjuangannya, Jakarta: Yayasan al-Hurriyyah, 1987, halaman 3
2)       Haji Rafiuddin, Sejarah Hidup dan Silsilah al-Syekh Kiyai Muhammad Nawawi Tanara, Tanara: Yayasan An-Nawawi, 1399 H, halaman 3.
3)       Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesatren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiyai, Jakarta: LP3ES, 1985, halaman 88.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar