AL-SYEIKH MUHAMMAD NAWAWI
AL-BANTANI
SEBAGAI MUJTAHID
A. Al-Syeikh
Muhammad Nawawi al-Banteni dan Kemujtahidannya
Al-Syeikh Muhammad Nawawi, nama lengkapnya ialah Muhammad Nawawi ibn
Umar ibn Arbi al-Jawi al-Bantani.
Penggunaan nisbah al-Jawi adalah untuk menyatakan bahwa Muhammad Nawawi itu
berasal atau berke-bangsaan Jawa yang, pada waktu itu, Jawa dikenal sebagai
layaknya suatu negeri karena secara de jure Indonesia belum ada. Sedangkan
penggunaan nisbah al-Bantani adalah untuk menyatakan daerah asalnya, yaitu
Banten yang pada waktu hidup Nawawi, merupakan daerah bekas kerajaan Islam yang
kemudian dikuasai oleh penjajah Belanda, dalam bentuk keresidenan. Di sebagian
buku yang ditulis oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi, nisbah al-Syeikh Muhammad
Nawawi juga ditulis al-Tanari, yaitu nama kampung tempat kela-hirannya, Tanara.
Di samping itu, Nawawi juga punya julukan ( laqab) Abu Abd al-Muthi.
Julukan ini diambil dari nama satu-satunya anak laki-lakinya yang meninggal
ketika masih remaja, bernama Abd al-Muthi.
Muhammad Nawawi dilahirkan pada tahun 1230 Hijriyah, bertepatan
dengan tahun 1813 Miladiyah, di kampung Tanara, Banten. Pada masa kanak-kanaknya
ia belajar membaca al-Qur 'an
dan menulis huruf Arab, serta pengeta-huan dasar tentang fiqh kepada ayahnya,
Kiyai Umar. Pada masa remajanya, Nawawi belajar kepada Kiyai Sahal (Banten) dan
Kiyai Haji Yusuf (Purwakarta). Ketika Nawawi berkesempatan pergi haji ke Mekah
pada usia 15 tahun, ia bermukim di sana selama 3 tahun untuk kemudian kembali ke
kampung ha-lamannya dengan keberhasilan menghafal al-Qur 'an
serta menguasai pengeta-huan dasar bahasa Arab, ilmu kalam, ilmu mantik, ilmu
hadits/tafsir, dan ter-utama ilmu fiqh.
Tidak lama Nawawi berada di tanah air, pada tahun itu juga (kira-kira tahun 1830
M) pergi lagi ke Mekah untuk belajar. Kali ini merupakan kepergiannya yang
terakhir, sebab ia tidak pernah kembali lagi ke tanah air. Pada kepergiannya
inilah kemudian, selama lebih kurang 30 tahun di Mekah ia belajar kepada
guru-gurunya yang terkenal: al-Syeikh Khatib Sambas, al-Syeikh Abd al-Ghani
Bima, al-Syeikh Yusuf Sumbulawaini, al-Syeikh Nahrawi, dan al-Syeikh Abd
al-Hamid al-Daghistani.
Selesai belajar atau berguru secara langsung, pada tahun 1860-1870
M, Muhammad Nawawi mulai aktif mengajar di Masjid al-Haram. Peserta yang
mengikutinya sebagian besar berasal dari Indonesia (pada waktu itu bernama
Hindia Belanda). Di antara peserta atau murid-muridnya yang orang Indonesia
ialah: K.H. Hasyim Asy 'ari,
K.H. Khalil, K.H. Asnawi (Banten), K.H. Asnawi (Kudus), dan K.H. Arsyad
Thawil. Mata pelajaran yang diajarkannya ialah ilmu
fiqh, ilmu kalam, ilmu tasawuf/akhlak, tafsir, hadits, dan bahasa Arab. Kemudian
mulai tahun 1870 M, Muhammad Nawawi aktif menulis dan menyusun kitab-kitab yang
sebagian besar dalam bentuk syarah atas kitab-kitab yang dijadikan acuan dalam
kegiatan mengajarnya. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/ 1879 M, al-Syeikh Muhammad
Nawawi al-Bantani wafat, dan dimakamkan di pemakaman Mala, Makkah
al-Mukar-ramah.
Aktifitas-aktifitas al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani ketika
mengajar dan mengarang, membawanya pada peringkat keulamaan dan dikenal sebagai
ulama besar. Keulamaan yang disandangnya itu pula menyebabkan ia disebut seorang
mujtahid. Sebutan mujtahid bagi seorang ulama adalah tanda kemandirian berpikir
bagi ulama itu, dan sebutan itu pulalah yang menarik untuk dibuktikan, apakah
benar al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani itu seorang mujtahid. Pembuktian akan
kebenaran itu memerlukan pengukuran yang, berarti juga memerlukan alat. Untuk
membuktikan kemujtahidan al-Syeikh Muhammad Nawawi, pengukuran yang
setidak-tidaknya mendekati kebenaran itu ialah persyaratan-persyaratan yang
harus dipenuhi oleh seseorang sehingga mempunyai kewenangan untuk berijithad.
Persyaratan-persyaratan berijtihad erat kaitannya dengan pengertian atau konsep
ijtihad. Abu Hamid al-Ghazali merumuskan pengertian ijtihad dengan:
بذل
المجتهد وسعه فى طلب العلم باحكام الشريعة
Pengerahan kemampuan mujtahid dalam upaya mengetahui hukum-hukum syari'ah.
Definisi dengan ungkapan yang berbeda, Ibn al-Hajib merumuskan
pengertian ijtihad sebagai berikut:
استفراغ
الفقيه الوسع لتحصيل ظن يحكم سرعى
Pengerahan segenap kemampuan yang dilakukan oleh ahli fiqh untuk
mendapatkan suatu tahapo dugaan kuat tentang ketetapan hukum syar'iy.
Pada pengertian di atas terkandung pernyataan bahwa ijtihad ialah
pengerahan kemampuan yang berarti bahwa segenap kemampuan itu mesti dikerahkan
dalam berijtihad. Pengerahan segenap kemampuan sebagaimana terkandung dalam kata
الجهد/اجتهاد mesti mengandung unsur-unsur yang memberatkan
atau menyulitkan yang, karenanya hanya bisa dilakukan oleh mujtahid.
Kemampuan yang mesti dikerahkan secara optimal, menunjukkan bahwa kewenangan
berijtihad hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang memenuhi syarat, sebab
syarat-syarat itulah yang menentukan adanya kemampuan. Karena itu
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid adalah
penting. Atas kepentingan itu, ulama-ulama ushul fiqh merumuskan syarat-syarat
mujtahid. Tetapi karena perumusan syarat-syarat mujtahid itu ditetapkan oleh
ulama-ulama berdasarkan pemikirannya, maka perbedaan pendapat pun tidak bisa
dihindari, meskipun perbedaan pendapat itu terletak pada ketat atau longgarnya
persyaratan-persyaratan yang dirumuskan.
Persyaratan yang nampak ketat terhadap mujtahid, dirumuskan oleh
al-Syahrastani.
Menurutnya, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid, sehingga
mempunyai kewenangan untuk berijtihad, adalah:
1. Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang
bahasa Arab, sehingga mam-pu memahami seluk beluk bahasa Arab, misalnya
perbedaan antara lafazh-lafazh wad'iyah
dan isti'dal,
al-nash dan al-zhahir, al-'am
dan al-khash, dan lain-lain.
2. Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang
tafsir al-Qur'an,
terutama tafsir yang berkenaan dengan ayat-ayat hukum.
3. Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang
al-Hadis, baik mengenai matannya, sanadnya, maupun mengenai
pemindahan periwayatannya.
4. Mempunyai pengetahuan yang memadai tentang
ijma',
yang terjadi pada masa shahabat, tabi'in,
dan tabi'i
al-tabi'in,
sehingga ijtihad yang dilakukan tidak bertentangan dengan ijma'.
5. Mempunyai kejelian tentang obyek-obuek
qiyas.
Dalam hal persyaratan mujtahid itu, Muhammad Musa
merincinya pada empat klasifikasi, yaitu: syarat-syarat umum mujtahid (الشروط العامة), syarat-syarat penting (الشروط الهامة), syarat-syarat pokok
( الشروط الاساسيه), dan syarat-syarat pelengkap ( الشروط التكميلية). Syarat-syarat umum mujtahid ialah: sudah dewasa
(baligh), berakal sehat, mempunyai kecerdasan yang tinggi, dan beriman.
Persyaratan penitng meliputi: mempunyai pengetahuan bahasa Arab, ushul al-Fiqh,
al-manthiq, dan mengetahui bahwa prinsip hukum adalah Syara '
( al-bara'ah al-ashliyah). Persyaratan
pokok meliputi: mempunyai pengetahuan tentang Kitab Allah (al-Qur 'an),
mempunyai pemahaman yang memadai tentang al-Sunnah dan tujuan al-Syari 'ah
( maqashid al-syari'ah), dan mempunyai pengetahun
tentang kaidah-kaidah universal ( al-qawa'id al-kulliyah). Sedangkan
syarat-syarat pelengkap meliputi: mengetahui bahwa pada kasus tertentu itu tidak
ada keberlakuan dalil qath'iy, mempunyai pengetahuan tentang
wilayah beda pendapat, dan memiliki kesalehan serta ketakwaan.
Persyaratan yang berkenaan dengan penguasaan pengetahuan bahasa Arab
dengan semua cabang-cabangnya, misalnya nahwu, sharf, dan balaghah, adalah
karena sumber istinbath
yang dalam hal ini al-Qur 'an
dan al-Hadi s, berbahasa Arab. Pemahaman terhadap bahasa Arab memerlukan
alat yang memadai, apalagi gaya bahasa ( uslub) al-Qur 'an
itu unik, sedangkan alat yang memadai ialah pengetahuan bahasa Arab. Mengenai
al-Qur 'an
berbahasa Arab, telah dinyatakan oleh al-Qur 'an
sendiri. Kira-kira ada 14 ayat yang dapat menunjukkannya, misalnya sura t Yusuf (12):2, sura t al-Ra 'ad
(13):37, sura t Ibrahim (14):4, dan
sura t
al-Nahl (16):103. al-Hadi s yang ungkapan-ungkap-annya juga berbahasa
Arab, meskipun peringkatnya sebagai dalil hukum menduduki urutan kedua,
pemahamannya adalah dengan pengetahuan bahasa Arab. Sangat sulit dipercaya hasil
ijtihadnya jika mujtahid yang berijtihad itu tidak menguasai bahasa Arab.
Persyaratan tentang penguasaan tafsir al-Qur 'an
bagi mujtahid, berke-naan dengan kedududukan al-Qur 'an
yang isinya adalah mufassar, terutama ayat-ayat hukum. Tafsir atau
penafsiran pertama terhadap al-Qur 'an
ialah al-Qur 'an
sendiri. Tetapi ada kemungkinan ayat-ayat al-Qur 'an
tidak ditafsirkan oleh ayat-ayat yang lain, karena luasnya pengertian ayat-ayat
itu. Dalam kondisi seperti itu, penafsiran dikembalikan kepada al-Sunnah, sebab
kedudukannya itu sebagai penjelas.
Pemahaman terhadap al-Qur 'an
adalah penafsirannya itu yang bukan saja dengan alat pengetahuan bahasa Arab,
tetapi juga ilmu tafsir. Liputan ilmu tafsir ialah pengetahuan tentang
nasikh-mansukh, asbab al-nuzul, ta'wil, dan macam ayat, baik dilihat
dari bentuknya maupun titi mangsa turun-nya. Cakupan ilmu-ilmu inilah yang bisa
menjadi alat memahami atau menafsiri al-Qur 'an.
Dengan pemahaman tafsir itu, dapat menentukan suatu hukum berdasarkan sumber
pertamanya.
Persyaratan tentang penguasaan ilmu hadi s diperlukan untuk
memahami hadi s sebagai dasar hukum Islam kedua, dan untuk memahami
al-Qur 'an
melalui penjelasan al-Hadi s, khususnya yang berkenaan dengan
masalah-masalah hukum. Di samping al-Hadi s berkedudukan sebagai sumber
hukum-hukum Syara yang kedua, juga berfungsi untuk menjelaskan al-Qur 'an.
Karena itu Imam al-Syafi 'i
menyatakan:
كل
ما حكم به رسول الله صلى الله عليه وسلم فهو بما فهمه من القرآن
Semua hukum yang ditetapkan oleh Rasulullah SAW adalah sebagai
hasil dari pemahamannya terhadap al-Qur'an.
Yang termasuk dalam pembahasan ilmu hadis adalah mengenai
matan (materi) hadis, orang-orang yang meriwayatkan hadis,
dan proses pemindahan riwayat dari orang yang satu kepada orang yang lain.
Dengan ilmu hadis yang dikuasai, seorang mujtahid dapat menentukan hukum
syara, bentuk, bidang, dan kualitasnya, berdasarkan pada kualitas periwayatan
hadits. Hukum syara yang ditentukannya itu bisa berasal dari hadis atas
penafsirannya terhadap al-Qur'an,
atau dari hadis itu sendiri manakala al-Qur'an
tidak menyebutnya.
Persyaratan tentang penguasaan terhadap ijma '
diperlukan bagi mujtahid agar ijtihadnya tidak bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan hukum dari hasil ijma shahabat, tabiin, dan tabii al-tabiin.
Hukum-hukum hasil ijma adalah juga sebagai dasar atau dalil terhadap sesuatu
yang dihukumi itu. Meskipun ijma itu terjadi melalui proses ijtihad para
shahabat, tabiin, atau tabii al-tabiin, namun karena sepakat dalam ijtihadnya,
maka hasilnyapun menjadi kuat. Misalnya ijma mengenai kesucian dan keagungan
al-Qur 'an
( mushhaf),
terjadi di kalangan shahabat, tabiin, dan tabii al-tabiin, meskipun mengenai
batasan kesucian orang-orang yang boleh menyentuhnya, terjadi perbedaan pendapat
(tidak ijma). Karena itu pengetahuan tentang ijma adalah penting bagi
mujtahid.
Adapun persyaratan mengenai kejelian mujtahid terhadap obyek-obyek
qiyas, dimaksudkan bahwa suatu kasus itu harus diketahui oleh mujtahid, ada atau
tidak adanya kesamaan dengan sesuatu yang sudah ada hukumnya. Hal ini diperlukan
agar mujtahid selalu dapat memberikan kontribusi hukum terhadap sesuatu (kasus)
yang secara tekstual tidak disebut dalam nash. Besarnya kontri-busi itu memberi
dukungan kepada mujtahid untuk tidak berpeluang pada kefakuman hukum.
Di samping persyaratan-persyaratan mujtahid yang cenderung bersifat
akademik tersebut, ada satu persyaratan yang bersifat moral, yaitu adil. Seorang
mujtahid disyaratkan harus adil, yaitu terhindar dari perbuatan maksiat.
Penting-nya persyaratan ini adalah karena berkaitan dengan kewenangan
dipeganginya hasil-hasil ijtihad seorang mujtahid untuk keperluan fatwa.
Dalam pengguna-annya, fatwa berhubungan dengan kepentingan orang lain (atau
orang banyak) yang akan mengikutinya. Karena itu pula al-Bardisi menetapkan
bahwa syarat utama seorang mujtahid adalah harus muslim, dan dari mujtahid
muslim itulah hukum-hukum syara '
yang ditetapkannya akan benar.
Jika syarat-syarat mujtahid tersebut di atas dijadikan ukuran untuk
melihat kemujtahidan al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani, maka diperlu-kan
pengujian bagi pemenuhan masing-masing syarat tersebut pada al-Syeikh Muhammad
Nawawi. Untuk persyaratan pertama, yaitu penguasaan bahasa Arab, terhadap
al-Syeikh Muhammad Nawawi, bisa dianalisis dari dua segi, yaitu penguasaan
teoritis dan penguasaan praktis. Dalam penguasaan bahasa Arab secara teoritis
dapat ditunjukkan melalui karya-karyanya mengenai bidang ini. Ada empat buah karyanya
dalam bidang bahasa Arab dengan cabang-cabangnya yang meliputi ilmu nahwu, ilmu
sharaf, dan ilmu balagah. Dalam cabang ilmu nahwu, al-Syeikh Muhammad Nawawi
menulis kitab yang diberi nama Kasyf al-Maruthiyah 'an Sattar al-Ajurumiyah (1298
H.), dan kitab Fath Ghafir al-Khathiyah 'ala al-Kawakib al-Jaliyah fi Nazham
al-Ajurumiyah (1298 H). Dalam cabang ilmu sharaf -- di dalamnya ada bahasan ilmu nahwu --,
al-Syeikh Muhammad Nawawi menulis kitab yang diberi nama al-Fushush
al-Yaqutiyat 'ala al-Rawdat
al-Bahiyat fi al-Abwab al-Tashrifiyat (1299 H.)
Sedangkan dalam cabang ilmu balaghah, al-Syeikh Muhammad Nawawi menulis kitab
yang diberi nama Lubab al-Bayan: Syarh 'ala Risalah al-Syeikh Husain al-Maliki fi
al-Isti'arat (1301 H.).
Dari segi penguasaan bahasa Arab secara praktis, al-Syeikh Muhammad
Nawawi al-Bantani memperlihatkan kemampuan bahasa Arabnya dalam
pemba-hasan-pembahasan masalah yang pemecahan-pemecahannya bersumber pada teks
al-Qur 'an
dan al-Hadi s, atau masalah-masalah yang berkaitan dengan penafsiran teks
al-Qur 'an
dan al-Hadi s. Kemampuan tersebut misalnya diper-lihatkan pada penafsiran
sura t
al-Nisa ayat 42 tentang larangan shalat bagi orang yang mabuk. Terhadap lafazh
... وانتم سكارى ..., ditafsiri dengan ... حال كونهم سكارى .... Dalam penafsiran tersebut nampak bahwa
huruf wawu ( وَ) adalah untuk
hal haliyah.
Contoh lain misalnya, ketika al-Syeikh Muhammad Nawawi mengartikan sabda Nabi
saw yang berbunyi ... واستو صوا بالنسآء خيرا .... Huruf al-Baa ( الباء) pada
lafa ئh bi al-nisa'i ( بالنسآء)
adalah pertanda mutaaddi bagi fi'il yang sebelumnya, yaitu lafazh
استو صوا;
sementara nashab-nya lafazh خيرا, ada
dua kemungkinan fungsi, yaitu sebagai maf'ul atas lafazh استو صوا,
atau menjadi maf'ul atas lafadh fi'il yang dibuang, yaitu lafazh
( خيرا وائتوا. Terakhir, menjadilah makna keseluruhannya:
... واقبلوا وصيتى فيهن وائتوا خيرا.
Persyaratan kedua ialah penguasaan terhadap (ilmu) tafsir
al-Qur 'an,
terutama tafsir mengenai ayat-ayat hukum (al-ahkam). Mengenai persyaratan ini,
bagi al-Syeikh Muhammad Nawawi dapat dianalisis dari dua sisi, yaitu sisi
penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur 'an,
khususnya ayat-ayat hukum, dan sisi pembahasan masalah-masalah hukum yang
pemecahannya menggunakan dalil al-Qur 'an
yang pendalilannya berdasarkan atas penafsirannya terhadap ayat yang
bersangkutan. Sisi penafsiran terhadap ayat-ayat al-Qur 'an,
bagi al-Syeikh Muhammad Nawawi ditunjukkan lewat karyanya dalam bidang tafsir
al-Qur 'an,
yaitu Marah Labid (al-Tafsir al-Munir li Ma'alim al-Ta'wil). Sebagaimana ayat-ayat lain,
ayat-ayat hukum juga ditafsiri oleh al-Syeikh Nawawi. Misalnya ayat 96
sura t Ali
'Imran.
Di akhir ayat itu berbunyi وهدى للعالمين ..., penafsirannya adalah bahwa Ka 'bah
( al-Bayt) itu kiblat bagi seluruh Nabi, Rasul, dan Mu 'min
dalam shalat mereka, sebab perintah shalat itu ada pada seluruh agama yang
dibawa oleh Nabi-nabinya, sebagaimana ditunjukkan dalam sura t Marayam
ayat 58, yang di akhir ayat tersebut ada pernyataan yang berbunyi: تتلى عليهم ايات الرحمن خروا سجدا وبكيا اذا .... Ayat ini menerangkan bahwa para Nabi itu
bersujud kepada Allah manakala dibacakan ayat-ayat Allah. Sujudnya mereka kepada
Allah itu mengharuskan pada suatu arah tertentu, dan arah (kiblat) itu ialah
Bayt Allah (Ka 'bah).
Sisi pendalilan yang dipakai oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi dapat
ditunjukkan misalnya, ketika ia membahas masalah tertib dalam
berwu du. Ia berpendapat bahwa urutan atau tertib membasuh atau menyapu
anggota-anggota badan dalam berwu du dengan air, adalah rukun
wu du. Urutan (tertib) itu berdasar pada al-Qur 'an
surah al-Ma 'idah
ayat 6 yang, satu demi satu, ayat itu menyebut anggota badan yang dibersihkan
yang, penyebutan urutannya menggunakan huruf wawu ( وَ).
Artinya, al-Qur 'an
sendiri yang telah mengurut-kannya; menyebut yang lebih dahulu disebut dan yang
dikemudiankan, adalah urutan (tertib).
Terlihat bahwa urutan (tertib) dalam membersihkan anggota-anggota badan ketika
berwu du berdasarkan ayat tersebut di atas, adalah suatu penafsiran yang,
bukan saja menyebut huruf wawu dengan makna summa
(kemudian), tetapi justeru pemaknaan 'kemudian '
itu adalah oleh ayat sendiri yang mengurutkannya.
Persyaratan ketiga ialah penguasaan terhadap (ilmu) hadi s
dengan segala bagian-bagiannya. Analisis terhadap al-Syeikh Muhammad Nawawi
kaitannya dengan persyaratan ini, bisa diperlihatkan melalui karyanya tentang
hadi s. Dalam hal ini al-Syeikh Muhammad Nawawi menulis kitab hadi s
yang diberi nama tanqih al-Qawl al-Hasis, yang merupakan
syarah atas kitab Lubab al-Hadis karya Jalal al-Din al-Sayuthi. Di
dalam kitab syarahnya, al-Syeikh Muhammad Nawawi menjelaskan pengertian
hadis, asar, dan khabar, sanad, matan, dan
isnad; serta macam-macam kualitas hadi s dan kedudukan hadi s
yang berkualitas da'if.
Demikian pula al-Syeikh Nawawi menjelaskan batasan-batasan kualitas hadi s
pada sebagian kitabnya yang menggunakan hadi s sebagai dalil.
Persyaratan yang keempat, mempunyai pengetahuan yang memadai tentang
ijma '.
Mengenai ijma '
ini, al-Syeikh Muhammad Nawawi mengakuinya sebagai salah satu dalil hukum.
Pengetahuannya tentang ijma '
diperlihatkan pada pemakaiannya dalam menentukan hukum. Dalam kitab-kitabnya
banyak disebutkan ijma '
mengenai masalah-masalah hukum atau masalah-masalah akidah tertentu. Misalnya
al-Syeikh Nawawi menghukumi batal wu du bagi orang yang hilang akal akibat
mabuk, berdasarkan ijma ',
dua khutbah sebagai salah satu syarat sahnya Jum 'at
harus dilakukan sebelum shalat, berdasarkan ijma ',
kewajiban orang Islam menghormati mushhaf (al-Qur 'an)
adalah berdasarkan ijma ',
dan masih banyak lagi yang lainnya.
Adapun persyaratan yang kelima, yaitu tentang kejelian dan kemampuan
terhadap masalah qiyas, bagi al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani, dapat pula
diperlihatkan dalam pemakaiannya ketika menjelaskan hukum tertentu yang perlu
dengan qiyas. Misalnya dalam hal batalnya shalat, Muhammad Nawawi berpendapat
bahwa orang yang berbicara pada waktu shalat sedang ia lupa akan keharaman
berbicara dalam shalat, shalatnya dihukumi batal. Penentuan hukum batal ini
didasarkan pada qiyas dari batalnya shalat orang yang lupa bahwa pada pakaiannya
terdapat najis.
Mengenai persyaratan adil bagi mujtahid, yaitu terhindar dari
perbuatan maksiat, nampaknya agak sulit dilacak pemenuhannya, demikian pula
terhadap al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani. Batasan adil dengan, terhindarnya
seseorang dari perbuatan maksiat, yang berlatas belakang pada pencapaian
kewibawaan fatwa, agaknya sulit untuk diukur, sebab bagaimana mungkin seseorang
dapat diketahui tidak melakukan perbuatan maksiat. Untuk itu, kiranya dapat
dibantu dengan "sekedar "
menduga bahwa seseorang terhindar dari perbuatan maksiat. Dengan strategi ini,
analisis terhadap al-Syeikh Muham-mad Nawawi al-Bantani, dugaan akan
terhindarnya dari perbuatan maksiat, dapat ditempuh melalui dua cara, yaitu
berdasarkan pendapat orang lain dan berdasarkan karya-karyanya yang membahas
masalah-masalah kebaikan. Menu-rut ungkapan-ungkapan penerbit buku-buku karya
al-Syeikh Nawawi, dalam penamaan pengarangnya disebutkan julukan al-'Alim al-'Allamah, al-'Alim al-Fadil, al-'Alim al-'Amil al-Fadil, al-Syeikh
al-Imam, dan al-Wara' al-Kamil. Sebutan-sebutan
tersebut mengisyaratkan bahwa al-Syeikh Muhammad Nawawi adalah seorang yang
menghindar dari maksiat, apalagi ada sebutan al-Wara'
yang didefinisikan oleh Nawawi sendiri dengan: orang yang
menghindar syubhat karena khawatir jatuh pada yang diharamkan.
Sebutan-sebutan itu didukung pula oleh pemikiran-pemikirannya tentang upaya
beramal shalih dan nilai-nilai kebajikan. Tentang pentingnya berbuat kebajikan
dan menghindarkan diri dari maksiat, bahkan pentingnya meninggalkan syubhat,
dikemukakan oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi dalam kitab-kitabnya,
Mirqat al-Shu'ud, Maraqi al-'Ubudiyat, Salalim al-Fudala,
Bahjah al-Wasa'il, Qami' al-Thughyan, dan Nasha'ih al-'Ibad.
Melihat syarat-syarat mujtahid dalam berijtihad sebagaimana tersebut
di atas, dan seleksi persyaratan atas diri al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani,
ternyata persyaratan-persyaratan tersebut telah terpenuhi. Tetapi dengan telah
terpenuhinya persyaratan-persyaratan tersebut, belum dapat dipastikan bahwa
al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani itu seorang mujtahid. Untuk memastikannya
perlu dilihat, apakah al-Syeikh Muhammad Nawawi melakukan ijtihad. Untuk
menemukannya kiranya penting dianalisis isi karya-karyanya terutama yang
membahas masalah-masalah fiqh. Dalam kitabnya Kasyifat al-Saja
dapat ditunjukkan misalnya, tentang cara mengangkat tangan pada waktu
takbirah al-ihram dalam shalat.
Ia berpendapat bahwa mengangkat tangan dimulai berbarengan dengan dimulainya
bacaan takbir, dan berakhirnya mengangkat tangan bersamaan dengan berakhirnya
lafazh takbir, setelah itu baru tangan diturunkan.
Pada kitabnya yang lain diperlihatkan pula bahwa al-Syeikh Muhammad Nawawi
melakukan ijtihad dalam membahas masalah-masalah fiqh. Pembahasan tentang
ijtihadnya ini akan dikemukakan pada bab empat.
Dengan terpenuhinya syarat-syarat mujtahid dan al-Syeikh Muhammad
Nawawi sendiri melakukan ijtihad sesuai dengan tuntutan ijtihad, yaitu
mengerahkan kemampuan yang optimal untuk menemukan hukum-hukum syara',
maka cukup beralasan, menempatkan al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani sebagai
seorang mujtahid. Kemudian menarik pula untuk diketahui, mujtahid dalam kategori
apa sesungguhnya al-Syeikh Muhammad Nawawi itu. Memasukkan al-Syeikh Muhammad
Nawawi dalam kategori mujtahid tertentu itu penting, karena kategorisasi ini
pula cenderung memberi ukuran kualitas pada kemujtahidan seorang mujtahid
tertentu yang, dalam hal ini ialah al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani.
Kaitannya dengan kategorisasi atau macam-macam mujtahid itu,
Mu-hammad Abu Zahrah
membagi mujtahid itu pada lima macam atau tingkatan, yaitu:
1. Mujtahid
Mustaqill. Mujtahid yang tergolong dalam tingkatan ini ialah para
mujtahid yang mandiri, yaitu mereka yang langsung mengeluarkan hukum-hukum
syara'
dari sumbernya, al-Kitab dan al-Sunnah; dan menemukan cara lain dalam
mengeluarkan hukum syara'
jika tidak didapat dari nash. Antar mereka tidak saling mengikuti kecuali kepada
shahabat-shahabat Nabi. Yang termasuk mujtahid dalam tingkatan ini antara lain
Sa'id
ibn Musayyab, Ibrahim al-Nakha'i,
Abu Hanifah, Malik, al-Syafi'i,
Ahmad, al-Auza'i,
al-Lais, Sufyan al-Sauri, dan lain-lain.
2. Mujtahid
Muntasib. Mujtahid yang termasuk dalam tingkatan ini ialah mereka yang
memihak pada ketentuan-ketentuan Imam yang dipihakinya dalam hal-hal yang
berkaitan dengan dasar-dasar istinbath meskipun dalam hal furu'
mereka berbeda pendapat dengan Imamnya. Mujtahid yang termasuk dalam tingkatan
ini antara lain Khalid ibn Yusuf (mazhab Hanafi), al-Muzani
(mazhab al-Syafi'i),
dan 'Abd
al-Rahman ibn al-Qasim (mazhab Maliki).
3. Mujtahid
Mazhab. Yang dimaksud mujtahid mazhab ialah mereka yang
dalam melakukan ijtihadnya mengikuti Imam mazhabnya, baik dalam ushul
maupun furu'.
Ijtihad mereka terbatas dalam masalah yang ketentuan hukum-nya tidak diperoleh
dari mazhab anutan mereka.
4. Mujtahid
Murajjih. Yang dimaksud mujtahid murajjih ialah mereka yang dalam
melakukan ijtihadnya tidak mengistinbathkan hukum-hukum, akan tetapi mereka
melakukan pembandingan-pembandingan atas beberapa pendapat mujtahid, kemudian
menentukan pilihan terhadap pendapat yang dipandang lebih kuat, baik penggunaan
dalilnya maupun jaminan kemashla-hatannya dalam penerapan hukum.
5. Mujtahid
Mustadill. Yang dimaksud mujtahid mustadill ialah mereka yang dalam
ijtihadnya tidak melakukan tarjih, tetapi hanya mencari dan mengemu-kakan
dalil-dalil terhadap pendapat-pendapat yang ada, kemudian menjelaskan pendapat
mana yang patut dipegang berdasarkan pertimbangan dalil-dalil tertentu tanpa
melakukan tarjih.
Memperhatikan tingkatan dan macam-macam mujtahid seperti tersebut di
atas, dengan menempatkan al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani sebagai seorang
mujtahid yang telah memenuhi persyaratan-persyaratannya, maka perlu pula
ditentukan, termasuk mujtahid dalam tingkatan atau macam apa al-Syeikh Muhammad
Nawawi itu. Untuk memperjelas posisinya, perlu dilihat strategi-strategi,
metode, dan teknik dalam ijtihadnya. Dalam aliran fiqhnya, al-Syeikh Muhammad
Nawawi al-Bantani mengakui bahwa ia adalah pengikut ma zhab Imam
al-Syafi 'i.
Pengakuannya itu didukung oleh caranya melakukan ijtihad. Dalam masalah ushul
misalnya, al-Syeikh Muhammad Nawawi berpendapat bahwa umat Nabi Muhammad itu
terbagi kedalam dua golongan, yaitu umat al-Ijabah (muslim) dan umat
al-Da'wah (kafir). Kedua golongan umat
ini sama-sama dikenai taklif terhadap ajaran-ajaran atau hukum-hukum
Islam, berdasar-kan prinsip al-Insu (manusianya).
Oleh karena itu orang kafir menurut al-Syeikh Muhammad Nawawi, terkena titah
( mukhathab) atau furu '-furu '
syari 'ah,
misalnya wajib melaksanakan shalat,
bukan hanya terkena titah untuk beriman (menjadi muslim) saja. Karena kesahan
shalat itu ditentukan oleh kemusliman seseoranmg, maka orang kafir yang
mengerjakan shalat, shalatnya tidak sah. Tetapi tidak berarti kekafiran itu
meniadakan kewajiban shalat. Pendapat ini ternyata sama dengan, atau
pengembangan dari pendapat Imam al-Syafi 'i.
Imam al-Syafi 'i
berpendapat bahwa orang kafir adalah mukallaf terhadap furu '
al-syari 'ah,
yaitu mengerjakan kewajiban, meningggalkan yang haram, dan meyakini akan adanya
yang mandub, makruh, dan mubah.
Dalam masalah furu ',
misalnya tentang keharusan dan syarat-syarat dua orang saksi laki-laki dalam
akad nikah. Imam al-Syafi 'i
berpendapat bahwa dua orang saksi laki-laki dalam akad nikah itu adalah rukun.
Kedudukannya sebagai rukun, dua orang saksi laki-laki itu harus hadir dalam
pelaksanaan akad nikah.
Pendapat tersebut diikuti dan dikembangkan oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi
al-Bantani. Dalam pengembangannya, al-Syeikh Muhammad Nawawi menjelaskan bahwa
keharusan hadirnya dua orang saksi dalam akad nikah itu ialah saksi-saksi yang
mempunyai kecakapan secara hukum untuk bertindak sebagai saksi. Kecakapan
dimaksud ialah bahwa saksi-saksi itu harus orang-orang merdeka dengan sempurna
(bukan hamba), manusia yang betul-betul laki-laki, adil, tidak cacat panca
indera, tidak berada dalam pengampuan, mempu-nyai pekerjaan atau kebiasaan yang
terhormat, tidak mudah lupa, dan mengetahui (faham) bahasa pihak-pihak yang
berakad.
Melihat wilayah ijtihad yang dilakukan oleh al-Syeikh Muhammad
Nawawi tersebut, nampak sekali bahwa ijtihad yang dilakukannya berada dalam
ijtihadnya Imam al-Syafi'i.
Dan berdasarkan rumusan macam-macam ijtihad tersebut di atas, memberi kejelasan
bahwa al-Syeikh Muhammad Nawawi adalah seorang mujtahid mazhab, yang
dalam hal ini ialah mazhab Imam al-Syafi'i.
Jadi, al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani adalah seorang mujtahid mazhab
Imam al-Syafi'i.
Tetapi jika kemujtahidan al-Syeikh Muhammad Nawawi itu diukur dengan pembagian
(macam-macam) mujtahid menurut al-Syeikh Nawawi sendiri, maka secara tersirat ia
tidak mengaku sebagai seorang mujtahid.
Untuk pengukuran kemujtahidan tersebut di atas, perlu dilihat
pembagian mujtahid menurut al-Syeikh Muhammad Nawawi. Secara rinci, ia
membagi mujtahid itu pada tiga macam,
yaitu:
1. Mujtahid
al-Muthlaq, yaitu mujtahid yang mempunyai kemampuan mengis-tinbathkan
hukum-hukum syara'
dari dalil-dalilnya.
2. Mujtahid
al-Mazhab, yaitu mujtahid yang mempunyai kemampuan
mengis-tinbathkan hukum-hukum syara'
dari dalil-dalilnya berdasarkan pada kaidah-kaidah atau rumus-rumus Imam
mazhabnya. Mujtahid yang termasuk ke dalam mujtahid mazhab ini
antara lain, al-Muzani dan al-Buwaiti.
3. Mujtahid
al-Fatwa, yaitu mujtahid yang mempunyai kemampuan untuk me-lakukan tarjih
terhadap pendapat Imam mazhabnya. Mujtahid yang termasuk ke dalam
golongan ini antara lain aialah al-Nawawi dan al-Rafi'i.
Yang tidak termasuk pada bagian-bagian tersebut di atas disebut
muqallid, bukan mujtahid, yaitu mereka yang hanya mengikuti dan
mengem-bangkan ijtihad-ijtihad madzhab anutannya. Menurut al-Syeikh Muhammad
Nawawi, yang termasuk muqallid itu antara lain, Muhammad al-Ramli dan Ibn Hajar
al-Haitami.
Muhammad al-Ramli, atau juga disebut al-Imam Muhammad al-Ramli, nama lengkapnya
ialah Syams al-Din Muhammad ibn Abi al- 'Abbas
Ahmad ibn Hamzah ibn Syihab al-Din al-Ramli (w. 1004 H.), adalah pengarang kitab
Nihayah al-Muhtaj yang merupakan
syarah atas kitab al-Minhaj. Ibn Hajar al-Haitami, nama lengkapnya ialah
Syihab al-Din Ahmad ibn Hajar al-Haitami (w. 973 H.), ia adalah pengarang kitab
Tuhfah al-Muhtaj yang juga merupakan syarah atas kitab al-Minhaj.
Kedua ulama ini pengikut ma zhab Imam al-Syafi 'i,
karena itu di belakang namanya biasa juga dibubuhi al-Syafi 'i.
Imam al-Ramli dan Imam al-Haitami yang pemikiran-pemikiran fiqhnya sering
dijadikan acuan (rujukan) oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi, hanya dikatakan-nya
sebagai muqallid. Pernyataan tersebut mengandung arti bahwa al-Syeikh
Muhamamad Nawawi tidak mengaku sebagai seorang mujtahid, dan atas kriteria yang
dirumuskannya, al-Haitami dan al-Ramli sebagai muqallid, maka berarti
(lebih-lebih) al-Syeikh Muhamamad Nawawi itu seorang muqallid.
Jika dihubungkan dengan macam-macam mujtahid menurut Abu Zahrah,
maka terlihat bahwa mujtahid mazhab menurut al-Syeikh Muhammad Nawawi itu
samalah artinya dengan mujtahid muntasib menurut Abu Zahrah. Sedangkan muqallid
yang digambarkan oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi nampak lebih dekat pada mujtahid
mazhab menurut Abu Zahrah. Di samping itu pula, meskipun ada ulama yang
diistilahkan muqallid oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi, tidaklah keliru jika ulama
itu juga diistilahkan dengan mujtahid, sebab mereka telah mencurahkan segenap
kemampuan nalarnya dalam lapangan hukum-hukum syara. Atas
pertimbangan-pertimbangan itulah cukup beralasan menyebutkan bahwa al-Syeikh
Muhammad Nawawi al-Bantani adalah seorang mujtahid mazhab dalam
mazhab Imam al-Syafi'i.
B. Kualitas
Karya-karya al-Syeikh Muhammad Nawawi
Sebagaimana disebutkan di muka bahwa kitab-kitab karya al-Syeikh
Muhammad Nawawi al-Bantani itu berkenaan dengan bidang-bidang fiqh, tauhid,
tasawuf, tafsir, hadis, dan bahasa Arab, pembahasan-pembahasan dalam
kitab-kitabnya itu kadangkala dalam satu kitab terdapat banyak bidang. Karena
itu bidang bahasan ilmu fiqh dalam karya-karya al-Syeikh Muhammad Nawawi, tidak
hanya terdapat dalam kitab yang secara nyata menampilkan judul fiqh. Untuk
melihat kualitas pemikiran fiqh al-Syeikh Muhammad Nawawi yang tertuang dalam
karya-karya yang hampir seluruhnya berbentuk syarah, perlu dilihat kualitas
setiap karyanya itu.#
1. Kasyifah
al-Saja
Kitab Kasyifah al-Saja adalah syarah atas kitab
Safinat al-Naja fi Ushul al-Din wa al-Fiqh, sebuah buku kecil
karya al-Syeikh Salim ibn Sumair al-Hadrami. Uraian fiqh dalam buku kecil
ini dinyatakan oleh penulisnya adalah dalam mazhab Imam al-Syafi'i.
Meskpun disebutkan oleh penulisnya, kitab kecil ini berisi uraian tentang ushul
al-din dan al-fiqh, namun ternyata dalam isi-nya jauh lebih banyak bidang
fiqhnya. Bahasan dalam kitab ini dipilah-pilah pada bentuk-bentuk fasal, yang
meliputi 66 fasal; hanya 2 fasal yang pertama yang berisi uraian bidang ushul
al-din, yaitu tentang jumlah rukun Islam, rukun Iman, dan makna kalimat
tahlil. Selebihnya, yaitu 63 fasal, adalah bidang fiqh, yang dimulai
dengan tanda-tanda kedewasaan (baligh), dan diakhiri dengan uraian tentang
puasa.
Ringkasnya isi kitab Safinah al-Naja diperlihatkan pada
uraian-uraiannya yang hanya menunjukkan poin-poin tertentu dari masing-masing
fasal, tanpa disetai penjelasan-penjelasan. Misalnya lima rukun Islam, enam
rukun Iman, tiga ciri-ciri dewasa (baligh), delapan syarat sah shalat, empat
kewajiban pengurusan mayit (janazah), enam macam harta yang terkena kewajiban
zakat, dan tiga rukun puasa; poin-poin dalam hitungan-hitungan tersebut hanya
disebut satu persatu. Akibat uraiannya yang sangat singkat itu, kitab ini bisa
dinilai sebagai pengetahuan dasar. Apalagi jika dilihat dari segi penggunaan
dalilnya, uraian dalam kitab ini tidak satupun menunjukkan dalil atau sumber
hukumnya. Demikian pula kitab ini tidak memberikan gambaran adanya
masalah-masalah dan pemecahannya yang memperlihatkan fiqh sebagai suatu
pemikiran. Meskipun dalam sub judul kitab ini tertulis fi ushul al-din wa
al-fiqh, namun yang dimaksud nampaknya adalah koleksi atau kumpulan
pokok-pokok keimanan dan hukum-hukum syara'
yang ditransfer dari hasil-hasil ijtihad orang lain (literatur dan guru-guru
penulisnya).
Terhadap kitab kecil, Safinat al-Naja tersebut, kemudian
al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani menyusun syarahnya yang diberi nama
Kasyifah al-Saja. Menurut penulisnya kitab syarah ini selesai dikerjakan pada
tahun 1277 Hijriyah. Karena ada syarah, maka kitab Safinah al-Naja disebut
matan. Pensyarahannya dilakukan dari sejak khutbah (pendahuluan) kitab
ini sampai pada bagian akhirnya (penutup). Bagian pembukaan kitab matan berisi
kalimat-kalimat al-basmalah, al-hamdalah, shalawat, dan hawqalah.
Kalimat-kalimat tersebut nampak lebih berhubungan dengan masalah-masalah akidah
(ushul al-din). Karena itu dalam syarahnya bersiri pembahasan-pembahasan tentang
akidah yang meliputi sifat-sifat Allah dan sifat-sifat Rasul Allah, khusus-nya
Nabi Muhammad SAW. Pembahasan bidang akidah inilah yang berlanjut sampai pada
pensyarahan berikutnya tentang rukun Islam, Iman, dan eksistensi Allah sebagai
pihak yang disembah. Demikian pula pada bagian akhir kitab matan yang berisi
ungkapan ke-Mahatahuan Allah, do'a,
dan shalawat, pensyarahannya berisi pembahasan tentang akidah. Jadi masalah
ushul al-din yang sesungguhnya singkat sekali dikemukakan dalam kitab matan,
menjadi luas dalam syarahnya. Bahkan pada bagian-bagian tertentu, misalnya
maqam-maqam ibadah (halaman 13), kitab syarah memperlihatkan bahasan
tasawuf.
Bahasan bidang fiqh yang dimulai dari ciri-ciri kedewasaan (baligh)
dan diakhiri dengan pembahasan mengenai sesuatu yang masuk tenggorokan tapi
tidak membatalkan puasa dalam kitab matan, disyarahi oleh al-Syeikh Muham-mad
Nawawi dengan panjang lebar dan relatif lengkap. Dalam gaya pensyarah-annya
dikemukakan pendapat-pendapat para ulama yang hampir seluruhnya dalam lingkungan
pengikut ma zhab Imam al-Syafi 'i
lengkap dengan rujukan sumbernya, dalil-dalil yang diambil dari al-Qur 'an,
al-Sunnah, al-Ijma ',
al-Qiyas, al-Istishhab, dan lain-lain, serta beberapa illustrasi sya 'ir,
contoh-contoh, dan bahkan pengungkapan masalah dalam bentuk teka-teki (halaman
101) dan hikayat (halaman 8). Mempelajari kitab syarh tersebut seolah-olah lupa
akan kitab matannya. Untuk itu sesekali al-Syeikh Muhammad Nawawi dalam
syarahnya menyebut mushannif (penyusun matan), atau dikatakan bahwa ia
menambah bilangan rukun shalat di samping yang telah tertulis dalam kitab
matan.
Di samping gaya dan cara-cara tersebut di atas,
pengungkapan masalah, pemecahan masalah, dan sumber dari pendapat orang lain,
al-Syeikh Muhammad Nawawi dalam syarahnya mengemukakan istilah-istilah:
fa'idat,
khatimat, far'u,
tatimmat, tatmim, tanbih, tanbihat, i'lam,
mas'alat,
tazyil, taznib, tafsil, idah, tawdih,
ghurrat, tabshirat, dan nuktah. Isi yang
terkandung dalam ungkapan-ungkapan tersebut bukan hanya mengomentari
uraian-uraian sebelumnya, tetapi yang paling banyak adalah uraian tambahan
pendapat al-Syeikh Muhammad Nawawi sendiri. Dalam kitab Kasyifah al-Saja ini
terdapat sebanyak 116 kali ungkapan-ungkapan tersebut, ditulis dengan jumlah
yang bervariasi, berkisar antara 1-30 kali. Yang paling banyak digunakan ialah
ungkapan far'u
(far'un),
fa'idat,
dan tanbih.
Jika dilihat perbandingannya antara kitab matan dan kitab syarah,
kelihatan sangat jauh perbedaannya. Meskipun Kasyifah al-Saja itu kitab syarah
atas Safinah al-Naja, namun sedikit sekali yang isinya hanya komentar atas kitab
matan. Yang paling banyak ialah uraian panjang lebar tentang pendapat al-Syeikh
Nawawi sendiri dan sarat dengan sumber-sumber literatur yang disebutkan. Uraian
yang pajang lebar itu juga ternyata tetap konsisten dengan kitab matannya. Ini
nampaknya disebabkan karena uraian singkat dalam kitab matan itu, adalah
seutuhnya berdasar pada pendapat Imam al-Syafi'i.
Sebagai seorang Syafi'iyah,
al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani yang juga penulis syarah, memang sama
pendapatnya dengan al-Hadrami sebagai penulis matan, karena keduanya
sama-sama Syafi'iyah.
Jadi pada kesimpulannya, meskipun Kasyifah al-Saja itu kitab syarah, tetapi
bahasan-bahasan orisinalnya dapat dibuktikan. Berarti lupa, penilaian atas tidak
orisinalnya suatu karya hanya karena berbentuk syarah, dapat dibantah, paling
tidak untuk karya al-Syeikh Muhammad Nawawi ini.
2. Sulam al-Munajat
Kitab Sulam al-Munajat adalah syarah atas kitab (matan) Safinah
al-Shalah karya al-Sayid 'Abd
Allah bin 'Umar
al-Hadrami. Kitab Safinah al-Shalah berisi tuntunan praktis tentang
shalat, dari sejak cara-cara bersuci sampai dengan pelaksanaan shalat, menurut
mazhab Imam al-Syafi'i.
Mengenai sistematika isinya, kitab matan ini terdiri atas tiga bagian yaitu,
pendahuluan, isi, dan penutup. Pendahuluan berisi hamdalah dan
shalawat; isi, meliputi dua bagian yaitu, akidah (makna kalimat
Syahadatain), dan tuntunan shalat; sedang penutup berisi shalawat.
Melihat porsi isi kitab tersebut, tepatlah dikatakan, kitab itu kitab fiqh.
Karena singkatnya uraian, maka dalam buku itu tidak menunjukkan dalil-dalil,
masalah-masalah, dan alternatif-alternatif yang mungkin ada di luar tuntunan
shalat itu sekalipun masih dalam lingkungan mazhab Imam al-Syafi'i.
Dalam memperluas bahasan tentang shalat, al-Syeikh Muhammad Nawawi
al-Bantani menulis kitab syarah atas kitab (matan) tersebut yang, kemudian
diberi nama Sulam al-Munajat, pertama kali terbit pada tahun 1297 Hijriyah.
Dalam penulisannya, pensyarahan dilakukan pada seluruh kitab matan tersebut,
yaitu dari pendahuluan sampai dengan penutup. Pada pendahuluan yang hanya berisi
hamdalah dan shalawat, al-Syeikh Muhammad Nawawi menulis syarahnya
cukup panjang, yaitu sampai mengungkapkan "misteri"
nama Muhammad (Rasulullah), dan menyusun tabel tentang al-Khulafa al-Rasyidun.
Pada bagian isi, al-Syeikh Muhammad Nawawi membuat syarah sesuai dengan bagian
isi dalam kitab matan, yaitu bidang akidah dan bidang tuntunan shalat. Pada
bidang akidah yang meliputi pembahasan tentang makna syahadat, sifat-sifat
Tuhan, dan sifat-sifat Rasul, khususnya Nabi Muhammad SAW, al-Syeikh Nawawi
menyusun syarah cukup panjang. Dalam masalah iman, al-Syeikh Muhammad Nawawi
menguraikan bagian-bagian iman (ajza'u
al-iman), dan sampai pada konsep dan kedudukan kafir. Mengenai tuntunan
shalat secara praktis, dalam syarahnya, al-Syeikh Nawawi mengemukakan
dalil-dalil dari al-Qur'an
atau al-Sunnah, mengemukakan masalah-masalah dan pemecahannya lengkap dengan
sumber pengambilannya. Pada bagian penutup yang berisi shalawat dan hamdalah,
dalam syarahnya, al-Syeikh Nawawi memperluas maksud shalawat yang dalam arti
harfiahnya ialah mendo'akan
Nabi, sedang hamdalah dinyatakan sebagai sifat bagi Allah.
Mengenai gaya pensyarahannya, al-Syeikh Muhammad Nawawi
menge-mukakan tambahan-tambahan uraian di bawah pernyataan tanbih,
far'un,
dan i'lam;
ungkapan ini semuanya berjumlah 7 kali. Kemudian, untuk mempermudah analisis,
Nawawi menyusun tabel atau bagan tentang masalah-masalah tertentu. Dalam masalah
penentuan arah kiblat, Nawawi membuat bagan pemetaan falakiyah; dalam masalah
hubungan wudu, mandi., dan shalat, Nawawi membuat tabel linier; dan dalam
pembahasan hikmah dan makna shalat, Nawawi membuat bagan dalam bentuk "pohon"
ikhlas. Kemudian, dalam melengkapi penjelasan, al-Syeikh Muhammad Nawawi
melengkapinya dengan illustrasi dengan masalah pembahasan.
Memperhatikan syarah yang disusun oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi
tersebut, terlihat pembahasan yang luas yang bukan hanya menjelaskan atau
mengomentasi kitab matannya. Hal ini misalnya diperlihatkan dalam
pengungkapannya lewat bagan dan pembahasannya. Dalam kitab matan tidak
dibicarakan bagaimana cara menentukan arah kiblat; sedangkan dalam syarah-nya,
ketika membicarakan keharusan menghadap kiblat, Nawawi membicarakan arah kiblat
dengan persyaratannya di bawah kata i'lam
(ketahuilah), lalu meng-gambarkan dan menjelaskan rumus-rumus falakiyah untuk
menentukan arah kiblat dengan contoh lokasi wilayah Banten. Rumus falakiyah itu
kemudian di-lengkapi dengan gambar (bagan). Demikian pula ketika kitab matan
mengakhiri uraian tentang kaifiyat shalat, al-Syeikh Muhammad Nawawi menjelaskan
dalam syarahnya tentang hikmah shalat, baik dari segi gerak dan bacaannya maupun
dari segi jumlah raka'at
dan waktu-waktunya. Uraian tentang hikmah shalat ini kemudian ditunjukkan lewat
gambar (bagan) bagian-bagian dan struktur shalat yang berbentuk pohon dengan
akar, batang, ranting, daun, dan buah. Karena itu, meskipun Sulam al-Munajat
karya al-Syeikh Muhammad Nawawi tersebut berbentuk syarah, namun dapat
memperlihatkan kemandirian ide dan pemikiran-pemikirannya, sebab bukan hanya
komentar terhadap kitab matannya. Dengan kemandirian yang diperlihatkannya itu,
cukup beralasan jika dikatakan bahwa karya al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani
ini adalah berkualitas sebagai karya mandiri.
3. al-Simar al-Yani'at
fi al-Riyad al-Badi'at
Al-Syeikh Muhammad Hasba Allah ibn Sulaiman menulis kitab kecil yang
ia sebut mukhtashar, yang kemudian diberi nama al-Riyad
al-Badi'at
fi Ushul al-Din wa Ba'ad
Furu'
al-Syari'at
'ala
al-Imam al-Syafi'i.
Kitab kecil inilah yang kemudian disyarahi oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi
al-Bantani menjadi sebuah kitab yang diberi judul al-Simar
al-Yani'at
fi al-Riyad al-Badi'at.
Atas munculnya pensyarahan ini, kitab al-Riyad al-Badi'at
berarti kitab matan. Meskipun kitab matan ini diberi sub judul dengan
fi ushul al-din wa ba'ad
furu'
al-syari'ah
yang menggambarkan pembahasan bidang ushul al-din (akidah) dan sebagian kecil
bidang syari'ah,
namun dalam uraiannya ternyata sangat lebih banyak bidang fiqh. Karena itu,
ungkapan wa ba'ad
furu'
al-syari-'ah,
dinyatakan oleh al-Syeikh Nawawi, maksudnya ialah sisi tertentu bidang tasawuf.
Ungkapan ini didukung oleh struktur dan sistematika kitab matan ini yang
sebagian besar membahas bidang fiqh. Dari sistematikanya, kitab matan membagi
uraiannya pada tiga bidang kajian, yaitu bidang akidah, bidang fiqh, dan bidang
tasawuf. Bidang-bidang tersebut ditempatkan pada bagian-bagian kitab yaitu,
bidang akidah ditempatkan pada pendahuluan yang sebetulnya merupakan khuthbah
al-kitab (muqaddimah); bidang fiqh ditempatkan pada isi (tubuh) kitab; dan
bidang tasawuf ditempatkan pada bagian penutup yang dalam ungkapannya dinyatakan
dengan khatimah.
Dari segi isi atau materi bahasannya, dalam bidang akidah ditentukan
kewajiban-kewajiban bagi mukallaf untuk mengetahui pokok-pokok agama Islam.
Dikemukakan, ada empat kewajiban bagi mukallaf untuk mengetahuinya, yaitu
mengetahui rukun Islam dan rukun Iman; mengetahui akidah-akidah yang meliputi
keimanan terhadap sifat-sifat Allah dan Rasul-rasul Allah; mengetahui dan
meyakini Malaikat, kemulyaan Nabi Muhammad SAW dengan segala tugasnya; dan
kewajiban mengetahui syari'ah
dan furu'nya.
Bidang fiqh meliputi bahasan tentang thaharah, shalat, janazah, zakat,
shiyam, haji dan umrah, dan tentang sumpah dan nazar.
Bidang tasawuf membahas tentang ikhlash, amal saleh, taubat, dan memberi
atau melaksanakan hak-hak Allah dan hak-hak sesama makhluk. Meskipun materi
kitab matan tersebut nampak lengkap sebagai suatu pembahasan, namun pada
uraiannya tidak disertai dalil-dalil atau penunjukan sumber-sumbernya. Demikian
pula tidak ada penjelasan mengenai masalah-masalah pembatasan, baik yang
menyangkut kata-kata konsep maupun statemen-statemen yang memerlukan penjelasan,
misalnya bagaimana daya tampung lafaz tahlil itu terhadap seluruh
keimanan kepada Allah.
Perluasan pembahasan, baik dari segi dalil, sumber-sumber
pengam-bilan, penjelasan-penjelasan atau operasionalisasi konsep-konsep, maupun
dari segi kelengkapan contoh-contoh dan masalah-masalah yang mungkin muncul,
ternyata terdapat dalam syarah atas kitab matan tersebut. Syarah dimaksud adalah
kitab al-Simat al-Yani'at
fi al-Riyad al-Badi'at,
yang disusun oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi. Dalam pensyarahannya, Nawawi
melakukannya terhadap seluruh isi buku matan, yaitu dari sejak basmalah
sampai dengan shalawat pada kata akhir kitab tersebut. Dalam masalah
akidah, pensyarahan dilakukan dengan cukup luas, dari sejak penjabaran
pengertian sifat-sifat Allah dan Rasul-Nya, sampai dengan nama-nama Rasul yang
berjumlah 313 orang. Dalam masalah fiqh, Nawawi melakukan pensyarahan juga cukup
luas. Misalnya, sebelum Nawawi membahas syarat dan rukun shalat, terlebih dahulu
ia menjelaskan pengertian syarat dan rukun dengan panjang lebar, sehingga jelas
penerapannya dalam kesatuan shalat. Dalam masalah tasawuf, meskipun yang
dibicarakan adalah amaliah, namun dalam pembahasan syarahnya, pada bagian-bagian
tertentu seperti lepas dari bahasan kitab matannya. Sedangkan dari segi
gaya
pensyarahan, al-Syeikh Nawawi melengkapinya dengan kata-kata titimmah,
fa'idah,
dan far'un,
untuk keterangan tambahan yang sangat berharga. Demikian pula dilengkapi dengan
illustrasi hikayat, sya'ir,
dan pengandaian-penganadaian dalam masalah fiqh yang mungkin suatu saat akan
timbul/terjadi.
Memperhatikan caranya menyusun kitab syarah, dan gayanya memecah-kan
masalah, menempatkan buku syarah ini sebagai pemikiran al-Syeikh Muhammad
Nawawi, adalah beralasan. Dalam pemikiran-pemikirannya itu pantaslah
dikategorikan orisinil, dalam arti, sebagai pemikiran sendiri atau
setidak-tidaknya mengembangkan pemikiran orang lain dengan gagasan-gagasan
barunya. Bisa jadi, kitabnya sebagai syarah dianggap tidak orisinil
gara-gara kitabnya berbentuk syarah, adalah tidak tepat. Berdasarkan hal ini
dapatlah dikatakan bahwa kitab al-Simar al-Yani'at
fi al-Riyad al-Badi'at,
adalah mem-punyai kualitas yang baik sebagai layaknya tulisan ilmiah yang, salah
satu cirinya adalah menampilkan hal-hal yang orisinil.
4. 'Uqud
al-Lujain fi Bayani Huquq al-Zawjain
Dalam pengantarnya, al-Syeikh Muhammad Nawawi menyatakan bahwa kitab
'Uqud
al-Lujain fi Bayani Huquq al-Zawjain ini adalah syarah atas sebuah risalah
mengenai kehidupan suami isteri yang disusun oleh seseorang di antara para
penasehat ( al-Nashihin). Al-Syeikh Nawawi tidak menjelaskan siapa nama
orang dimaksud yang menyusun risalah itu. Ada kemungkinan, yang dimaksud salah seorang
penasehat itu adalah al-Syeikh Muhammad Nawawi sendiri, sebab ketika ia menamai
kitab syarah ini, ia menyebutkan dengan kalimat wasammaituha ( وسميتها); يamir ha ( ها) tidak
mungkin kembali kepada kalimat syarah ( شرح), tapi
yang mungkin ialah kepada kalimat al-risalah ( الرساله).
Pada kitab-kitab syarah yang lain menggunakan kalimat wasammaituhu ( وسميته),
dengan menggunakan damir hu ( هُ). Dan syarah
dimaksud adalah penyempurnaan dari risalah itu, sebab risalah yang
disebutkannya, tidak mempunyai nama, hanya disebutkan subyeknya saja, yaitu
persoalan suami isteri ( umur
al-zawjain). Demikian pula dikatakan oleh al-Yasu 'i,
bahwa Nawawi adalah pengarang ( shahib) 'Uqud
al-Lujain fi Bayani Huquq al-Zawjain.
Terlepas dari dugaan tersebut, kenyataan dalam kitabnya memang ada
matan, yaitu Risalah, dan ada syarah, yaitu yang diberi nama 'Uqud
al-Lujain fi Bayani Huquq al-Zawjain, yang jelas ditulis oleh al-Syeikh
Muhammad Nawawi al-Bantani. Sesuai dengan matannya, pembahasan dalam kitab
syarah ini yang terpenting terdapat 4 fasal, yaitu fasal-fasal yang menjelaskan
hak-hak isteri atas suami, hak suami atas isteri, keutamaan shalat di rumah bagi
isteri, dan haramnya melihat bagi laki-laki kepada perempuan atau sebaliknya.Di
antara keempat fasal itu dikemukakan pula hal-hal lain, antara lain tentang
pergaulan suami isteri yang baik, tentang akhlak isteri yang baik, dan tentang
perhiasan yang dipakai oleh isteri. Seluruh isi kitab matan itu disyarahi oleh
al-Syeikh Muhammad Nawawi dari pengantar (khuthbah al-kitab) sampai
dengan penutup.
Pensyarahan dilakukan dengan merujuk sumber pengambilannya, bahkan,
sekalipun kitab ini tergolong kitab fiqh (bagian dari fiqh munakahat), Nawawi
dalam syarahnya mengambil contoh dan dasar dari tasawuf. Lafaz basmalah
dijelaskan sebagai lafaz yang secara fisik banyak mendatangkan barakah, berkhasiat untuk penyembuhan,
dan mengandung keajaiban. Pada akhir kitab disebutkan lafaz hamdalah yang
oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi dikatakan sebagai ujung do'anya
(bakal) penghuni surga. Sedangkan mengenai gaya pensyarahannya, dalam kitab ini juga
dikemukakan sedikit sya'ir,
dan juga ada tiga ungkapan fa'idah.
Demikian pula banyak dikemukakan hadis-hadis Nabi yang berkaitan
dengan kehidupan rumah tangga. Yang menarik dalam kitab ini ialah cukup banyak
diungkapkan hikayat-hikayat, dari sejak keistimewaan basmalah sampai
dengan keajaiban-keajaiban wanita (isteri) yang baik (shalihah). Hikayat
dimaksud seluruhnya berjumlah 11 hikayat.
Memperhatikan gambaran matan dan syarah kitab 'Uqud
al-Lujain, terlihat sekali mutu uraian syarahnya, meskipun kitab ini terhitung
sederhana dan berukuran tipis (ada 22 halaman saja). Mutunya diperlihatkan
melalui sumber-sumber yang dipakai oleh penulisnya, dalil-dalil (al-Qur'an
dan al-Hadis) yang dikemukakannya, dan dominasi contoh-contoh dan
hikayat-hikayat yang dikemukakannya.
5. Nihayat al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi'in
Kitab Nihayah al-Zein fi Irsyad al-Mubtadi'in
yang disusun oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani, adalah syarah atas kitab
fiqh beraliran madzhab Imam al-Syafi'i,
oleh penulisnya, Zain al-Din 'Abd
al-'Aziz
al-Mali-bari, diberi nama Qurrah al-'Ain
bi Muhimmat al-Din. Karena ada pensyarahan maka berarti ada kitab matan, dan
yang dimaksud adalah kitab Qurrah al-'Ain
itu. Kitab matan ini, karena pendeknya uraian, yang oleh penulisnya disebut
mukhtashar (teks uraiannya singkat), memang dirasa perlu ada
pengembangan, atau ada yang menjadikannya sebagai standard penguraian-penguraian
yang luas. Kaitan dengan hal ini, ternyata kitab matan tersebut disyarahi oleh
dua orang, yaitu oleh penulis matan itu sendiri yakni al-Syeikh Zain al-Din ibn
'Abd
al-Aziz al-Malibari (hidup pada abad ke-10 Hijriyah), dan oleh al-Syeikh
Muhamamad Nawawi al-Bantani. Syarah yang disusun oleh penulis matannya diberi
nama Fath al-Mu'in
bi Syarh Qurrat al-'Ain.
Adapun kitab syarah atas kitab matan yang disusun oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi
al-Bantani diberi nama Nihayat al-Zein fi Irsyad
al-Mubtadi'in.
Sesuai dengan kitab matannya, Qurrah al-'Ain,
sistematika materi pembahasan dalam Nihayah al-Zein sama dengan kitab matan
tersebut. Pembahasan dimulai dengan bab shalat yang di dalamnya termasuk
thaharah (bersuci), kemudian bab zakat, bab puasa, bab haji dan umrah, bab
al-bay',
bab nikah, bab jinayah/hudud, bab jihad, bab perhambaan (masalah budak).
Sedangkan pembabakan kitab syarah, terbagi pada tiga babak, yaitu pendahu-luan,
bahasan isi, dan penutup. Babakan pendahuluan berisi kata pengantar oleh penulis
dan pengembangan, bahkan uraian yang cukup luas dari pendahuluan yang ditulis
dalam kitab matan. Bahkan isi, standard materinya sama dengan kitab matan, yaitu
dari bab shalat sampai dengan bab pembebasan/pemerdekaan budak. Sedangkan
babakan penutup berisi pujian kepada Allah, harapan penulis sehubungan dengan
karyanya, dan diakhiri dengan shalawat dan hamdalah. Babakan penutup ini sama
sekali tidak ada kaitan dengan kitab matan, sebab kitab matan tidak mengemukakan
penutup; dengan kata lain, babakan penutup adalah bukan syarah terhadap matan,
jika syarah diartikan sebagai komentar atas kitab matan.
Dalam memulai penulisan kitab syarah ini, al-Syeikh Muhamamad Nawawi
pada kata pengantarnya, dengan sangat merendah menyatakan bahwa, ia sebetulnya
tidak punya andil apa-apa dalam pensyarahan ini, ia hanya banyak mengutip dari
kitab-kitab yang ditulis oleh ulama-ulama terdahulu, yaitu kitab
Nihayat al-Amal karya al-Syeikh Muhammad ibn Ibrahim Abi
Khudair al-Dimyathi, kitab Nihayat al-Muhtaj ila Syarh
al-Minhaj karya Syam al-Din Mu-hammad ibn Abi al-Abbas al-Ramli, dan kitab
Tuhfah al-Muhtaj bi Syarh al-Minhaj karya Syihab al-Din Ahmad ibn Hajar
al-Haitami. Demikian pula dari kitab-kitab yang lainnya yang tidak disebutkan
dalam kata pengantar. Pernyata-an tersebut adalah wajar, sebab penulisan ilmiah
selalu menghendaki sumber-sumber kepustakaannya.
Dari segi gayanya, pensyarahan oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi ini
dilengkapi dengan uraian dan pendapat-pendapatnya sendiri tentang suatu masalah
teretentu yang dituangkan dalam ungkapannya setelah menyebutkan kata-kata
dabit, tatimmat, tanbih, fa'idah,
far'un,
khatimat, furu',
muhimmat, dan takmil. Keseluruhan kata-kata tersebut ada sebanyak 63
kali tersebar di hampir setiap fasal. Demikian pula dilengkapi dengan
kutipan-kutipan sya'ir,
baik berisi penjelasan masalah yang bersangkutan maupun ulasan dari
masalah-masalah sebelumnya yang penyebutannya sama dengan sya'ir.
Uraian-uraian dalam syarah ditulis dengan cukup luas, terutama ketika
menguraikan pokok-pokok fiqh yang tercantum dalam kitab matan. Dari sisi ini
nampak terlihat bahwa al-Syeikh Muhammad Nawawi memperlakukan kitab matan itu
sebagai pokok-pokok aturan fiqh beraliran mazhab Imam al-Syafi'i,
yang sangat dimungkinkan bahwa pokok-pokok fiqh tersebut akan sama pula
andaikata ditulis oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi dalam bentuk kitab matan.
Kemung-kinan ini mengisyaratkan bahwa kitab matan oleh al-Malibari tersebut
diper-lakukan sebagai standar oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi, sehingga kitab
syarahnya bukan semata-mata komentar melainkan pemikiran dan pendapat-pendapat
penulisnya, yaitu al-Syeikh Muhamamad Nawawi. Demikian pula pengungkapan
dalil-dalil dari al-Qur'an
dan al-Hadis terhadap masalah-masalah tertentu yang ternyata tidak
dikemukakan dalam kitab matan, adalah juga menunjukkan bahwa syarah tersebut
merupakan suatu pemikiran.
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa kitab matan (Qurrah al-'Ain),
disyarahi oleh penulis matannya sendiri, yaitu al-Malibari, dan disyarahi pula
oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi, maka yang menarik untuk dilihat adalah
perbandingan dari kedua syarah tersebut. Sekedar perbandingan, misalnya dalam
masalah hukum shalat fardu, al-Malibari hanya menyatakan bahwa shalat
yang hukumnya fardu 'ain
itu ada lima waktu dalam sehari semalam, sedangkan al-Syeikh Muhammad Nawawi
menyebutkan ada dua macam fardu 'ain,
yaitu fardlu 'ain
bi al-syar'i
(shalat lima waktu), dan fardu 'ain
bi al-nazar (shalat yang fardu karena nazar meskipun
asal hukumnya sunnah). Contoh lain misalnya dalam masalah pengakuan
(ikrar). Al-Malibari dalam syarahnya meng-artikan penjelasan-penjelasan
sebagaimana yang secara singkat dikemukakan oleh kitab matan; sedangkan
al-Syeikh Muhammad Nawawi, sebelum meng-uraikan lebih luas tentang pengakuan,
terlebih dahulu ia menentukan unsur-unsur (rukun) pengakuan yang di dalam kitab
matan dan kitab syarah oleh al-Malibari, tidak disebutkan. Inilah yang
menunjukkan bahwa syarah yang disusun oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi adalah
pemikiran dan pendapat-pendapatnya. Dan kitab matan yang disyarahinya
diperlakukan sebagai standard fiqh menurut mazhab Imam al-Syafi'i.
6. Bahjat al-Wasa'il
bi Syarh Masa'il
Al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani menulis kitab yang kemudian
diberi nama Bahjat al-Wasa'il
bi Syarh Masa'il.
Terlihat dari namanya, kitab ini adalah syarah atas sebuah kitab yang
bernama al-Risalat al-Jami'ah
bayna Ushul al-Din wa al-Fiqh wa al-Tasawuf, karya al-Sayid Ahmad ibn Zein
al-Habsyi. Karena ada kitab syarah, maka berarti ada pula penyebutan kitab
matan, yang dalam hal ini adalah kitab al-Risalah tersebut di atas, dan kitab
syarah adalah Bahjah al-Wasa'il
itu.
Dalam kitab matan disebutkan oleh penulisnya bahwa isi kitab ini
adalah pembahasan singkat masalah-masalah yang paling kaprah diketahui dan
diamal-kan oleh orang banyak. Masalah-masalah itu diambil dari sebagian
kitab-kitab karya al-Imam al-Ghazali. Secara epistemologis, kitab ini berupaya
menyatukan aspek-aspek akidah, amaliyah, dan tasawuf. Upaya ini diperlihatkan
dalam pem-bahasan yang meliputi tiga bidang, yaitu ushul al-din, al-fiqh, dan
al-tasawuf. Dalam pembahasannya, bukan dalam bentuk perbandingan antar
masing-masing aspek yang terpisah, melainkan diperlihatkan dalam bentuk satu
kesatuan yang oleh penulisnya dinyatakan dengan ungkapan al-jami'ah,
dengan tujuan agar orang dapat memahami dan mengamalkan yang lahir dan yang
batin.
Dalam sistematikanya, di samping kata pengantar dan penutup,
penu-lisan kitab ini dibagi ke dalam tiga bagian menurut pembidangannya, yaitu
bagian pertama ushul al-din (akidah), bagian kedua tentang al-fiqh, dan bagian
ketiga tentang tasawuf. Pembahasan dalam bidang ushul al-din meliputi rukun
Islam, prinsip-prinsip keimanan tentang Allah, Rasul, Malaikat, dan Akhirat;
pembahasan dalam bidang fiqh meliputi fardu wudu dan bersuci,
syarat-syarat dan rukun-rukun shalat serta perbuatan-perbuatan yang
menghilangkan nilai shalat, puasa, zakat, dan haji; sedangkan pembahasan bidang
tasawuf meliputi kewajiban memelihara hati, penjelasan tentang macam-macam
maksiat fisik (al-jawarih), dan tentang dosa-dosa besar
(al-kaba'ir).
Bagian-bagian tersebut dalam pembahasan syarahnya, diramu sebagai bidang-bidang
yang saling ber-hubungan. Adanya hubungan itu ditunjukkan oleh pendapat penulis
syarah (Nawawi) bahwa hakekat iman secara syar'i
adalah pembenaran (al-tashdiq) terhadap segala sesuatu yang dibawa oleh Nabi
Muhamamad SAW itu benar-benar dari Allah SWT (halaman 5). Yang dibawa oleh Nabi
Muhammad itu adalah urusan-urusan akidah, perbuatan (amaliah), dan
kebaikan-kebaikan hati, yang artinya bahwa akidah itu mendasari amaliah, dan
amaliah yang didasari akidah itu membuahkan kebaikan hati.
Adapun dari gaya pensyarahannya, al-Syeikh Muhammad Nawawi
mengungkapkan pendapat-pendapat dan pikiran-pikirannya yang menjabarkan kitab
matan dan melengkapi serta memperluasnya. Dalam perluasan itu, al-Syeikh
Muhammad Nawawi membukanya dengan ungkapan-ungkapan tatimmat,
fa'idat,
far'u,
tanbih, lathifat, yang seluruhnya berjumlah 24 kali. Di antara isi
dari ungkapan-ungkapan itu ialah hadi s-hadi s Nabi atau atsar
shahabat. Dalam mengillustrasikan contoh-contoh, al-Syeikh Nawawi mengemukakan
hikayat, dan dalam memperkuat pendapatnya, al-Syeikh Nawawi juga menggunakan
kutipan-kutipan sya 'ir.
Karena itu kitab syarah ini juga adalah pemikiran-pemikiran al-Syeikh Nawawi
sebagai penulisnya. Dan meskipun kitab ini membahas tiga bidang, namun ternyata
pembahasan yang paling banyak adalah bidang fiqh. Atas dasar inilah nampaknya,
Abu Loes mengkategorikan kitab Bahjat al-Wasa'il
itu sebagai kitab fiqh.
7. Qut al-Habib al-Gharib
Pada awal abad ke-13 Hijriyah al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani
selesai menyusun kitab yang diberi nama Qut al-Habib al-Gharib. Kitab ini
merupakan tawsyih (pengembangan dari kitab syarah) yang,
pengarang-pengarang lain semacam ini menyebutnya hasyiyah, terhadap kitab
syarah yang bernama Fath al-Gharib al-Mujib karya Muhammad ibn
Qasim al-Syafi'i.
Kitab standard (matan) yang disyarahinya ialah Ghayat al-Taqrib
karya Abu Syuja'
Ahmad ibn al-Husain ibn Ahmad al-Asfihani, sebuah kitab fiqh menurut
mazhab Imam al-Syafi'i.
Memperhatikan hal di atas, terlihat adanya tingkatan penulisan kitab, yakni
kitab matan, kitab syarah, dan kitab tawsyih; kitab Qut al-Habib al-Gharib
adalah tingkatan yang ketiga.
Ketiga tingkatan kitab tersebut masing-masing ditulis oleh ulama
peng-ikut madzhab Imam al-Syafi'i,
sehingga yang ditampakkannya adalah tingkat bahasan uraian. Kitab matan
merupakan kitab standard yang berpegang pada fiqh Imam al-Syafi'i.
Karena itu isinya hanya membicarakan fiqh sebagai suatu aturan (hasil
pemahaman), atau yang disebut dengan hukum-hukum fiqh; tidak menguraikan
masalah-masalah fiqhiyah, dan tidak membahas proses munculnya hukum-hukum fiqh
itu. Kemudian kitab syarahnya, yaitu Fath al-Qarib al-Mujib,
berisi perluasan uraian dari kitab matan dengan tidak banyak menye-butkan
dalil-dalil hukumnya, terutama dari al-Qur'an
dan al-Hadis, kecuali ada sangat sedikit saja. Dari seluruh pembahasan,
dimulai sejak pendahuluan dan kitab al-thaharah sampai dengan kitab
memerdekakan budak dan penutup, hanya terdapat dua kali penunjukan dalil
al-Qur'an
dan dua kali al-Hadis. Perujukan dalil-dalil tersebut ternyata hanya
masing-masing satu kali saja yang langsung menyebut ayat al-Qur'an
atau isi al-Hadis, sisanya hanya menunjuk ayat atau isi hadits tertentu
saja. Jadi kiranya dapatlah dikatakan bahwa kitab syarah tersebut adalah
komentar dalam rangka memperjelas isi kitab matan.
Kitab syarah sebagaimana digambarkan di atas itulah yang kemudian
diperjelas, diperluas, dan disempurnakan, terutama pengisian pendalilannya, oleh
al-Syeikh Muhammad Nawawi. Kitab yang memperjelas dan menyempurnakan syarah itu,
oleh penulisnya, al-Syeikh Muhammad Nawawi disebut tawsyih, sehingga nama
lengkap kitabnya ialah Qut al-Habib al-Gharib: Tawsyih 'ala
Fath al-Gharib al-Mujib. Penjelasan dimaksud dalam kitab tawsyih ini
ialah memperjelas uraian yang masih samar dalam kitab syarah. Misalnya, dalam
kitab syarah disebutkan bahwa wasiyat itu ialah pemberian hak tanpa imbalan,
kepada seseorang, yang disandarkan dengan terjadinya kematian pihak berwasiyat.
Dalam tausyih dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan sandaran kematian ialah
ungkapan wasiyat oleh seseorang, baik secara jelas (hakiki) disebutkan 'sesudah
matinya',
maupun tidak jelas disebutkan (taqdiri); seperti ungkapan: saya wasiyatkan harta
sekian untuk Zaid; sama artinya dengan menyebut: sesudah saya wafat; meskipun
kata-kata yang terakhir ini tidak disebutkan.
Uraian tawsyih yang isinya memperluas syarah ialah uraian yang amat
sedikit oleh syarah, lalu diperluas oleh tawsyih. Misalnya tentang pengembalian
atau penyerahan (radd) harta warisan kepada bayt al-mal bagi
pewaris yang tidak mempunyai ahli waris ashabah berdasarkan nasab atau ashabah
berdasarkan pemerdekaan perhambaan (al-wala). Kitab tawsyih memperluasnya
dengan menyebutkan persyaratan bayt al-mal, yaitu penguasanya atau
pejabat pemerintahnya harus Imam yang adil; jika tidak adil maka radd itu
kepada zawi al-arham (nasab dari pihak ibu), demikian pula
diuraikan teknik pelaksanaan radd. Sedangkan uraian yang berisi
penyempurnaan terhadap kitab syarah ialah, kitab tawsyih mencantumkan
dalil-dalil dari al-Qur'an,
al-Hadis, dan dalil-dalil yang berdasarkan ijtihad. Misalnya tentang
bagian sepertiga dari sisa harta waris (sulus al-baqi)
adalah termasuk bagian waris yang telah ditentukan (furud
al-muqaddarah); penetapan ini berdasar atas ijtihad. Demikian pula kitab
tausyih menambah uraian yang berisi pendapat penulisnya atau pendapat orang lain
yang memperkuatnya. Penambahan uraian ini dilakukan oleh penulisnya dengan
terlebih dahulu mengungkapkan lafazh-lafazh fai'idat,
tatimmat, qa'idat
rafi'at,
far'u,
mas'alah,
khatimat, dan tanbih. Ungkapan lafazh-lafazh tersebut tidak
terdapat sama sekali dalam kitab syarah. Bahkan dalam kitab tawsyih (halaman
245), al-Syeikh Muhammad Nawawi mengkritik syarah yang menyatakan bahwa jika
orang yang terkena kafarat karena pembunuhan tidak disengaja itu tidak kuat
menjalankan puasa dua bulan berturut-turut, maka ia didenda agar memberi makan
60 orang miskin, adalah pendapat da'if;
yang rajih ialah bahwa kafarat puasa dua bulan berturut-turut tersebut tidak
bisa diganti dengan memberi makan 60 orang miskin meskipun terkafarat tidak
mampu; dasarnya ialah wirid (sunnah Nabi).
8. Mirqat Shu'ud
al-Tashdiq
Al-Syeikh 'Abd
Allah ibn al-Husain ibn Hakim ibn Muhammad ibn Hasyim Ba'alawi
(w. 1266 H.), menulis kitab kecil tentang tasawuf, fiqh, dan kalam, yang
kemudian diberi nama Sulam al-Tawfiq. Pembahasan dalam kitab ini disusun
berbentuk pasal-pasal yang seluruhnya berjumlah 37 pasal. Pasal-pasal tersebut dibagi menjadi tiga
bagian yaitu: bagian pertama, 3 pasal mengenai ilmu kalam; bagian kedua, 23
pasal mengenai ilmu fiqh; dan bagian ketiga, 11 pasal mengenai ilmu tasawuf.
Meskipun sudah ada pembagian-pem-bagian seperti itu, namun ternyata pada
bagian-bagian ilmu kalam dan ilmu tasawuf, terdapat pembahasan ilmu fiqh.
Misalnya hukum murtad dalam kajian akidah; pidana peminum khamer, penuduh zina,
denda zhihar, pidana pencurian, pembunuhan, zina, dan perampokan, ada dalam
pembahasan ilmu tasawuf. Isi uraian dalam kitab matan ini sangat singkat, tidak
mengemukakan dalil-dalil dan tidak mendefinisikan konsep-konsep.
Terhadap kitab matan tersebut, kemudian al-Syeikh Muhammad Nawawi
al-Bantani menyusun syarahnya dengan cukup luas. Kitab syarah ini diberi nama
Mirqat Shu'ud
al-Tashdiq fi Syarh Sulam al-Tawfiq. Isi pemba-hasannya, sesuai
dengan standard kitab matannya, sebagian besar adalah dalam bidang fiqh. Karena
itu cukup beralasan jika kitab ini dikategorikan sebagai kitab fiqh. Di samping
itu, pembahasan dalam bidang tasawuf juga berkisar pada tasawuf akhlaqi yang
dalam uraian syarah ini banyak mengacu pada pendapat al-Ghazali, atau
ulama-ulama lain yang pendapatnya serupa. Dalam syarah ini nampak keluasan
uraian dan pembahasan sehinggan kitab matan laksana diper-lakukan sebagai kitab
standard yang, uraian tentang ilmu kalamnya berdasar mazhab ahl
al-sunnah wa al-jama'ah,
uraian ilmu fiqhnya berdasar pada mazhab Imam al-Syafi'i,
dan uraian tasawufnya berdasar pada al-Ghazali atau tasawuf akhlaqi. Karena
luasnya uraian dalam syarah, terasa sekali kedalaman isi dari kitab
tersebut.
Dalam gayanya, kitab syarah membahas masalah-masalah dengan terlebih
dahulu mendefinisikan subyek yang dipemasalahkan. Misalnya dalam pembahasan
masalah wukuf di Arafah bagi jama'ah
haji. Sebelum dibahas lebih dalam, terlebih dahulu masalah itu dirumuskan dalam
suatu definisi (batasan), apa yang dimaksud wukuf di Arafah itu. Melalui
pendefinisian itulah kemudian konsep wukuf dioperasionalisasikan sehingga dapat
ditentukan hal-hal yang masih termasuk wukuf dan hal-hal yang tidak termasuk
wukuf (halaman 45). Dalam rumusan pendefinisiannya, yang menjadi dasar ialah
dalil-dalil al-Qur'an
dan al-Hadis serta pendapat-pendapat ulama. Karena itu gaya syarah ini juga adalah
pelengkapan dalil-dalil dari al-Qur'an
dan al-Hadis, dan dilengkapi pula dengan pendapat-pendapat ulama yang,
dalam kitab matan hampir tidak didapatkan. Dalam gaya pensyarahan juga terdapat ulasan atau
keterangan tersendiri yang ditulis oleh penulisnya dalam syarah, diungkapkan di
bawah pernyataan-pernyataan fa'idah,
far'un,
dan tanbih.
9. Al-Syu'ab
al-Imaniyat dan al-Futuhat al-Madaniyat
Kitab kecil dalam bentuk risalah yang kemudian oleh penulisnya,
al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani, diberi nama al-Syu'ab
al-Imaniyah ini, disusun dengan sangat sederhana. Isinya hanya garis-garus
besar tentang keyakinan, perbuatan, dan pandangan, yang termasuk ke dalam
cabang-cabang keimanan yang seluruhnya berjumlah 78 butir. Dalam setiap butir
tidak diuraikan penjelasannya dan tidak pula didukung oleh dalil al-Qur'an
atau al-Hadis. Menurut penulisnya, kitab kecil (risalah) ini disusun
dengan berpegang pada dua sumber pokok, yaitu: kitab al-Niqayah karya
al-Sayuhti, dan kitab al-Futuhat al-Makiyat karya al-Syeikh
Muhammad ibn 'Ali.
Dari kedua sumber itulah butir-butir tentang cabang-cabang keimanan itu disusun
dan disistemati-sasikan. Dari sejumlah butir itu, ternyata lebih dari 24 butir
berisi bidang-bidang fiqh.
Kitab matan yang singkat itu kemudian disusun syarahnya oleh
al-Syeikh Muhammad Nawawi sendiri yang kemudian diberi nama al-Futuhat
al-Madaniyat. Syarah inilah yang memperluas keterangan butir-butir
cabang keimanan itu dan melengkapinya dengan dalil-dalil dari al-Qur'an
dan al-Hadis. Demikian pula syarah itu melengkapinya dengan
pendapat-pendapat ulama, dan contoh-contoh dalam bentuk hikayat. Dengan
kelengkapan-kelengkapan tersebut, cabang-cabang keimanan menurut kitab matan
nampak menjadi jelas maksud dari tulisan matan itu.
10. Maraqi al-'Ubudiyat
Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali menulis
kitab yang diberi nama Bidayat al-Hidayat. Kitab ini berisi
petunjuk-petunjuk praktis tentang amalan ibadah, menghindari maksiat, dan
hubungan baik. Corak petunjuk-petunjuk itu lebih bersifat tata krama
karenanya, kitab ini bisa dimasukkan pada kategori kitab akhlak. Kemudian kitab
tersebut disyarahi oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi, dan kitab syarah itulah yang
kemudian diberi nama oleh penulisnya dengan Maraqi al-'Ubudiyat.
Karena ada syarah, maka kitab Bidayat al-Hidayatdisebut
kitab matan.
Sehubungan dengan materi bahasan dalam kitab matan, pembahasan dalam
kitab syarah tidak keluar dari pokok-pokok materinya. Karena pensyarahan itu
lebih memperlihatkan keluasannya, maka uraian pembahasannya telah melampaui
corak akhlaknya, yaitu disoroti dengan muatan fiqh, terutama pada
masalah-masalah ibadah. Jadi, meskipun dalam topik pembahasannya disebutkan
misalnya, bab adab (tata krama) masuk kamar kecil (WC) sebagaimana disebut-kan
dalam kitab matan, namun syarah memperluasnya pada pembahasan fiqh-nya, bukan
sekedar tata krama. Misalnya dalam hal larangan menghadap atau membelakangi
kiblat pada waktu buang air kecil/besar. Dalam kitab matan, larangan ini adalah
sepanjang muatan tata krama. Sedang dalam uraian syarah dikatakan, haram
hukumnya. Dijelaskan pula bahwa yang dianggap menghadap atau membelakangi kiblat
itu ialah 'ain
farjinya, bukan dada seseorang sebagai-mana dalam shalat.
Adapun gaya dalam pensyarahannya oleh al-Syeikh
Muhammad Nawawi, adalah dengan melengkapi dalil-dalil al-Qur'an
dan al-Hadis, kemudian pendapat-pendapat ulama. Dalam memperkuat
pendapatnya, penulis syarah melengkapinya dengan banyak sekali ungkapan-ungkapan
atau kutipan-kutipan sya'ir.
Untuk memperlihatkan pendapat penulis sendiri, dalam syarah antara lain
disebutkan pendapat-pendapatnya di bawah pernyataan tatimmat, dan
tanbih. Sedangkan peluang untuk memudahkan penalaran pembaca pada
pembahasan penulis, pensyarahan juga dilengkapi dengan contoh-contoh hukayat
(cerita), dan gambar petunjuk arah kiblat dalam perhitungan falakiyah. Dari
gayanya ini, dalam kitab syarah juga banyak ide-ide, gagasan-gagasan, dan
pendapat penulisnya sendiri.
11. Tanqih al-Qawl al-Hasis
Kitab Tanqih al-Qawl al-Hasis adalah
syarah atas kitab Lubab al-Hadiskarya al-Hafizh Jalal al-Din 'Abd
al-Rahman ibn Abi Bakr al-Sayuthi. Karena ada syarah ( Tanqih al-Qawl
al-Hasis) maka kitab Lubab al-Hadi s adalah kitab matan.
Kitab Lubab al-Hadi s adalah kitab yang berisi kumpulan
hadi s-hadi s tentang bermacam-macam keutamaan
( fadilat). Materi pokok yang mempunyai keutamaan-keutamaan
itu secara garis besar meliputi bidang-bidang ilmu pengetahuan, lafazh-lafazh
tauhid, akidah, ibadah, mu 'amalah,
jinayah, akhlak, dan tasawuf. Seluruh pembahasannya dikelompokkan pada 40 bab.
Hadits-hadits yang dihimpun dalam seluruh bab itu, oleh penulisnya, tidak
dicantumkan isnad-nya dengan maksud untuk meringkas.
Lalu dikatakan oleh penulisnya bahwa hadi s-hadi s yang dihimpun itu
semuanya adalah hadi s shahih.
Terhadap kitab matan tersebut kemudian al-Syeikh Muhammad Nawawi
al-Bantani menulis kitab syarahnya yang diberi nama Tanqih al-Qawl
al-Hasis. Pada pendahuluannya dikatakan bahwa tujuan
pensyarahan adalah untuk memberi petunjuk kepada pembaca, khususnya orang-orang
Jawa, agar tidak terjadi kesalahpahaman. Maksud pernyataan ini ialah, apa yang
dikatakan oleh penulis matan bahwa semua hadis yang dihimpunnya itu
shahih, ternyata sebe-tulnya ada yang hasan dan bahkan ada yang
da'if,
meskipun hadis da'if
sendiri tidak boleh diabaikan. Karena itu dalam pensyarahannya, al-Syeikh
Muhammad Nawawi melengkapi himpunan hadis-hadis itu dengan
isnadnya, dan mengemukakan pula hadis-hadis lain yang
senada dengan pembahasan, baik untuk perbandingan maupun untuk memperkuat
kedudukan dan kualitas hadisnya, yang biasa disebut sebagai
syahid. Konsekwensi dari pelengkapan hadis-hadis itu dengan
isnad adalah diperlihatkannya hadis-hadis hasan, dan
hadis-hadis da'if
yang dihimpun oleh kitab matan. Misalnya hadis tentang hukuman psikhis
bagi orang yang tiga kali berturut-turut dengan sengaja meninggalkan shalat
jum'at;
menurut al-Syeikh Muhammad Nawawi, hadis ini adalah hasan, bukan shahih.
Hadis tentang masjid sebagai "rumah"
setiap mu'min;
menurut al-Syeikh Muhammad Nawawi adalah da'if,
bukan shahih.
Dari segi gayanya, pensyarahan oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi
menunjukkan keluasannya. Pendapat-pendapat yang dikemukakan oleh al-Syeikh
Muhammad Nawawi sendiri nampak, baik pada pelengkapan isnad
hadis-hadis, maupun penambahan hadis-hadis dan
pengertian-pengertiannya. Demikian pula diperlihatkan dalam pernyataannya di
bawah kata-kata tanbih dan khatimat, serta pengungkapan
kisah Sayidina Abi Syahmah, dalam kasus perzinaan karena mabuk (minum
khamer). Sedangkan dilihat dari materi pembahasannya, yang ditunjukkan oleh
kitab syarah, hampir seluruhnya adalah bidang fiqh. Meskipun topik dalam sub
pembahasan itu misalnya tentang keuta-maan shadaqah (fadilah
al-shadaqah), namun dalam uraian syarahnya dibica-rakan hukum shadaqah
dilihat dari cara memberinya, benda yang diberikannya, dan pihak yang
menerimanya. Karena itu, kitab Tanqih al-Qawl
al-Hasis, ber-alasan jika dimasukkan bidang dan untuk
studi ilmu fiqh.
12. Marah Labid li Kasyfi Ma'na
al-Qur'an
al-Majid
Al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani menulis kitab tafsir
al-Qur'an
setebal dua jilid yang, menurutnya selesai ditulis pada tanggal 4 Rabi'
al-Akhir tahun 1305 Hijriyah. Kitab tafsir ini tergolong pada corak
tartibi, sebab menafsirkan ayat demi ayat sesuai dengan urutan ayat dalam
mushhaf, tidak berdasar pada tema tertentu. Karena itu dirasakan sulit
menghubungkan satu ayat dengan ayat yang lainnya dalam satu tema yang oleh
ayat-ayat itu disebut-kan. Meskipun demikian, dalam kitab tafsir itu juga
al-Syeikh Muhammad Nawawi menafsirkan ayat-ayat yang berkenaan dengan hukum
(ayat ahkam). Hasil-hasil penafsirannya itu adalah berarti fiqh (hukum-hukum
syara').
Karena itu dalam tafsir ini juga berarti ada pembahasan fiqh secara
langsung.
Dalam menyusun kitab tafsir ini, al-Syeikh Muhammad Nawawi
menge-mukakan bahwa acuan dasar penafsirannya adalah diambil dari kitab-kitab:
al-Futuhat al-Ilahiyah, Mafatih al-Ghayb, al-Siraj al-Munir, Tanwir
al-Miqbas, dan Tafsir Abi al-Su'ud.
Kitab-kitab tersebut yang tergolong tafsir, dilihat dari corak penyusunannya
adalah tafsir tartibi, karena itu sama coraknya dengan tafsir Marah Labid.
Coraknya yang tartibi itu, ternyata pula dalam tafsir Marah Labid tidak
tercantum nomor-nomor ayat pada setiap surah, sehingga menyulit-kan
batasan-batasan ayat dan mencari ayat-ayat tertentu dari berbagai surah. Untuk
itu, harus dilakukan penelusuran urut sejak dari awal surah, demikian pula jika
hendak melihat ayat-ayat ahkam yang ditafsiri oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi
al-Bantani.
13. Qami'
al-Thughyan
Salah satu kitab kecil yang corak pembahasannya menggunakan susunan
nazham atau dalam bentuk sya'ir,
dinamakan oleh penulisnya dengan Syu'ub
al-Iman. Penulis dimaksud ialah al-Syeikh Zein al-Din ibn 'Ali
ibn Ahmad al-Malibari. Sya'ir
yang disusun oleh penulisnya sebanyak 26 bait dengan irama bahar
al-Kamil. Sebanyak 7 bait berisi masalah akidah, 10 bait berisi masalah
fiqh, dan 9 bait mengenai tasawuf. Meskipun dalam jumlah kelihatannya seimbang
antar bidang-bidang pembahasannya, namun sebenarnya bidang fiqh itu lebih besar,
karena dalam bidang akidah dan tasawuf ternyata ada pembahasan bidang fiqhnya.
Kitab inilah yang kemudian disyarahi oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi dengan
tujuan untuk mempermudah dan memperluas pembahasan.
Dalam menyusun syarahnya, al-Syeikh Muhamamad Nawawi menambah 3 bait
yang ditempatkan pada pertama kali kitab. Kemudian menambahkan pula 1 bait yang
berasal dari al-Syekh 'Abd
al-Mun'im,
dan ditempatkan pada akhir kitab. Atas penambahan-penambahan itulah pada
akhirnya seluruh bait berjumlah 30, dan inilah yang ada dalam kitab syarah. Oleh
al-Syeikh Muhammad Nawawi, kitab syarah itu diberi nama Qami'
al-Thughyan. Meski-pun bait-bait tambahan itu ada dalam kitab syarah, namun
dalam pensyarahan-nya termasuk juga bait-bait yang disyarahi. Karena itu, untuk
mempermudah analisis, semua bait yang berjumlah 30 itu dikatakan sebagai kitab
matan.
Dalam gaya pensyarahannya, setiap bait dijelaskan
maksudnya dan bahkan diisi uraian-uraian
yang relatif luas, seolah-olah lepas dari matannya. Keluasan dalam uraian
itu ditandai dengan menampilkan dasar-dasar dari al-Qur'an
dan al-Hadis, bahkan juga menghiasinya dengan kutipan-kutipan sya'ir.
Pengisian pelengkapan syarah juga dilakukan oleh penulis syarah dengan
menempatkan uraian di bawah kata-kata tanbih, fa'idat,
dan i'lam.
Sedangkan contoh-contoh yang penting, dikemukakan di bawah kata-kata hikayah,
hukiya, dan yuhka, yang isinya cerita-cerita atau contoh-contoh
kasus. Cerita-cerita ini seluruhnya disebutkan sebanyak 5 kali. Di akhir
pensyarahannya, al-Syeikh Muhammad Nawawi menjelaskan tentang orang-orang yang
termasuk keluarga dan kerabat Nabi Muhammad saw, untuk mengukur sesungguhnya
siapa saja yang termasuk keluarga dan kerabat Nabi yang mempunyai hak untuk
termasuk pada sebutan shalawat; Allahumma Shalli 'ala
Muhammad wa 'ala
Ali Muham-mad.
14. Salalim al-Fudala
Ada sebuah kitab kecil yang gaya penulisannya berbentuk nazham (sya'ir),
ditulis oleh seorang ulama yang bernama Zain al-Din ibn 'Ali
al-Ma'bari al-Malibari. Kitab
tersebut diberi nama oleh penulisnya dengan Hidayat al-Azkiya ila
Thariq al-Awliya. Nazham atau sya'ir
yang disusunnya itu seluruh-nya berjumlah 194 bait yang tersebar pada 23 tema
atau pokok bahasan termasuk pendahuluan dan penutup. Kitab ini kemudian
disyarahi masing-masing oleh, al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani, dan oleh
al-Sayid Bakri al-Maki ibn al-Sayid Muhammad Syatha al-Dimyathi.
Al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani menulis syarah atas kitab
(matan) tersebut dengan nama kitabnya Salalim al-Fudala. Menurut
penulisnya, kitab syarah ini diselesaikan pada tahun 1293 Hijriyah. Kemudian
al-Sayid Bakri al-Maki juga menulis syarah atas kitab (matan) tersebut dengan
nama kitabnya Kifayah al-Atqiya wa Minhaj al-Ashfiya, yang diselesaikan
pada tahun 1302 Hijriyah. Dilihat dari waktu penyelesaiannya, kedua syarah atas
satu kitab (matan) tersebut adalah lebih dahulu yang ditulis oleh al-Syeikh
Muham-mad Nawawi dari pada yang ditulis oleh al-Sayid Bakri; konkritnya, ada
selisih sembilan tahun. Dilihat dari materi, gaya, dan kelengkapan penjelasannya, meskipun
belum dilakukan studi perbandingan, banyak kemungkinan berbeda. Dan dalam kajian
ini hanyalah pada karya al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani.
Dari segi materi pokok pembahasan dalam kitab matan, ternyata hampir
seluruhnya membahas bidang tasawuf. Karena itu dalam syarah juga demikian.
Namun, karena pembahasan tasawuf itu kebanyakan bersifat akhlaqi, yang
menekankan segi-segi perbuatan fisik (al-jawarih), maka penjelasan yang
berwarna fiqh juga banyak ditampakkan. Penampakan yang pertama-tama adalah
tentang teori syari'at,
thariqat, dan haqiqat, sebagai cara (al-thariq) untuk dapat
sampai kepada Allah SWT. Dikatakan (halaman 8), yang dimaksud syari'at
ialah perbuatan fisik (jawarih) dalam melaksanakan perintah Allah dan
menjauhi larangan-larangan-Nya. Pemahaman untuk memperoleh pengetahuan tentang
perintah-perintah dan larangan-larangan Allah itulah yang dimaksud dengan
fiqh.
15. Nasha'ih
al-Ibad
Kitab yang bernama Nasha'ih
al-Ibad ditulis oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani, merupakan syarah
atas kitab (matan) al-Munabbihat 'ala
al-Isti'dad
Liyawmi al-Ma'ad,
karya Syihab al-Din Ahmad ibn Hajar al-'Asqalani.
Kitab matan, menurut penulisnya, berisi maw'izhah
(petunjuk-petunjuk kebaikan) sebanyak 214 materi, dengan rincian sebanyak 45
materi berasal dari Hadis-hadis Nabi, dan sebanyak 79 materi
berasal dari ucapan shahabat dan ulama-ulama terkemuka. Dilihat dari isi
pokoknya, kitab ini menunjukkan kitab akhlak atau tasawuf. Tetapi karena juga
ada materi-materi yang menyangkut masalah-masalah fiqh, maka kitab ini berarti
juga ada bagian fiqhnya. Dalam sistematika penyusunannya, kitab matan tersebut
dibagi pada sembilan bab. Secara berurutan, dari bab satu, isi materinya disusun
berdasarkan butir-butir dalam tiap materi. Pada bab pertama, yang disebut bab
al-Suna'i,
berisi maw'izhah-maw'izhah,
yang masing-masing maw'izhah
terdapat dua butir. Bab tiga (al-Sulasi), setiap maw'izhah
terdiri dari tiga butir. Demikian seterusnya sampai pada bab sembilan yang isi
maw'izhahnya
terdapat masing-masing sepuluh butir (al-Usyuri).
Dalam kitab syarah, rincian bab yang disebut maw'izhah
oleh kitab matan itu, disebut al-maqalah, sehingga tiap-tiap bab terdiri
dari maqalah-maqalah. Setiap maqalah terdiri dari butir-butir yang
sistematikanya sebagai-mana dalam kitab matan, yaitu dua butir-dua butir, tiga
butir-tiga butir, dan seterusnya sampai sepuluh butir-sepuluh butir. Jumlah
maqalah seluruhnya adalah 214; setiap awal bab dimulai dengan menyebut maqalah
kesatu (al-maqalat al-Ula).
Dalam gaya pensyarahannya, al-Syeikh Muhammad Nawawi
memper-luas uraian, komentar, dan pendapatnya sendiri. Nama-nama shahabat dan
ulama yang pendapat atau kata-katanya dikutip al-Syeikh Muhammad Nawawi dalam
syarahnya menjelaskan nama lengkap sampai dengan urutan nasabnya.
Hadis-hadis dilengkapi dengan menyebut sanad dan perawinya, bahkan
dijelaskan pula kualitasnya. Dalam mempeeluas uraiannya, al-Syeikh Muhammad
Nawawi mengutip pula hadis-hadis lain, ucapan shahabat dan
ulama-ulama. Mendefinisikan kata-kata konsep, dan bahkan melengkapinya dengan
kutipan-kutipan sya'ir.
Karena itu uraian-uraian dalam kitab syarahnya, adalah orisinil pendapat
al-Syeikh Muhammad Nawawi al-Bantani, atau pemikiran-pemikirannya.
16. Kitab-kitab Lain
Di samping kitab-kitab yang berisi ilmu fiqh atau kitab yang di
dalamnya ada pembahasan fiqh sebagaimana disebutkan di atas, masih ada lagi
kitab yang dikarang oleh al-Syeikh Muhammad Nawawi yang berisi ilmu kalam
(tauhid) dan sirah Nabi Muhammad SAW.
Al-Syeikh Muhammad Nawawi menulis kitab yang diberi nama Qathr
al-Ghais yang merupakan syarah atas Masa'il
Abi al-Lais karya al-Iman Abu al-Lais yang dikenal dengan nama
lengkap: Nashir ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Ibrahim al-Hanafi al-Samarqandi.
Kitab ini membahas 17 masalah akidah. Di dalamnya ada terselip pembahasan bahwa
perbuatan-perbuatan ibadah sebagaimana ditetapkan dalam dan oleh fiqh, adalah
furu'
dari iman, bukan hakekat iman.
Kitab yang bernama Tijan al-Darari ditulis oleh al-Syeikh
Muhammad Nawawi sebagai syarah atas kitab Risalah al-Bajuri li al-Tawhid,
karya al-Syeikh Ibrahim al-Bajuri. Dalam syarahnya, al-Syeikh Muhammad Nawawi
membahas masalah-masalah dengan cukup luas, dan menunjukkan bahwa kitab matan
diperlakukannya sebagai kitab standard. Isinya ialah tentang keimanan kepada
Allah dan Rasul-Nya melalui sifat-sifat yang wajib, mustahil, dan ja'iz;
nasab Nabi Muhammad SAW, baik garis ke atas maupun garis ke bawah. Dalam syarah,
sifat-sifat Allah dibahas dengan cukup luas, misalnya tentang keesaan Allah
(wahdaniyah), al-Syeikh Nawawi mengemukakan teori kam munfashil
dan kam muttashil, dalam pembahasannya. Pembahasan yang serupa
dikembangkan pula dalam kitab Fath al-Majid, sebagai syarah atas
kitab al-Dar al-Farid, karya al-Syeikh Ahmad al-Nahrawi. Kitab ini
membahas sifat-sifat Allah dan Rasul Allah, fungsi Rasul, dan masalah-masalah
akhirat. Kitab lain yang membahas ilmu kalam (tauhid) yang ditulis oleh
al-Syeikh Muhammad Nawawi ialah Nur al-Zhulam, sebagai syarah atas kitab
'Aqidat
al-'Awam,
karya al-Sayid Ahmad al-Marzuqi al-Maliki al-Maki. Kitab (matan) ini ditulis
dalam bentuk nazham yang berjumlah 57 bait. Isi kitab ini meliputi
sifat-sifat Allah dan Rasul-Nya, keimanan kepada Malaikat dan Kitab-kitab Allah,
dan tentang keturunan Nabi Muhammad SAW. Dalam syarahnya, al-Syeikh Muhammad
Nawawi membahas panjang lebar dengan kelengkapan dalil-dalil al-Qur'an
dan al-Hadits, bahkan mengemukakan pula pendirian mazhab-mazhab
ilmu kalam, dan ada sedikit yang menyinggung masalah fiqh, misalnya masalah
aurat.
Dalam bidang yang berkaitan dengan sirat
al-Nabawiyyat (riwayat perjalanan hidup Nabi Muhammad SAW) dan
hal-hal yang berkaitan dengan keistimewaan (abqariyat) Nabi, ada
kitab matan bernama al-Mawlid al-Nabawi yang ditulis oleh al-Sayid
Ja'far
al-Barzanji. Kitab ini berisi keterangan tentang masa dan situasi ketika Nabi
Muhammad dilahirkan, keturunan (nasab) dan keistimewaan-keistimewaan Nabi,
bahkan gambaran fisik Nabi. Terhadap kitab ini, al-Syeikh Muhammad Nawawi
menyusun syarahnya yang diberi nama Madarij al-Shu'ud
ila Iktisa'i
al-Burud. Dalam uraian syarahnya, al-Syeikh Muhammad Nawawi melengkapi
keterangan-keterangan dan kutipan-kutipan sya'ir,
serta riwayat-riwayat menurut pendapat yang berbeda. Misalnya pendapat-pendapat
tentang waktu terjadinya Isra dan Mi'raj,
dan tentang waktu ketika terlaksananya perjalanan Isra dan Mi'raj
itu.
Kemudian ada lagi kitab yang berisi keterangan tentang sejarah,
keisti-mewaan, dan gamabaran-gambaran fisik Nabi Muhammad SAW. Menurut al-Syeikh
Muhammad Nawawi, kitab ini ada kemungkinan disusun oleh dua orang yaitu, yaitu
al-Syeikh Ahmad ibn al-Qasim dan Ibn al-Jawzi. Kitab tersebut berbentuk risalah
dengan gaya penyusunan berupa nazham
(al-abyat) pada bagian pertama, dan pada bagian akhir ditulis dengan
gaya prosa
(al-mansurat). Karena itu, al-Syeikh Muhammad Nawawi yang menulis
syarah atas kitab (matan) tersebut, memberinya dua nama, yaitu Fath
al-Shamad al-'Alim
'ala
Mawlid al-Syeikh Ahmad ibn al-Qasim, atau al-Bulugh al-Fawzi li Bayani
Alfazh Mawlid ibn al-Jauwzi. Dalam isinya, ternyata kitab syarah ini
mengandung pula pembahasan tentang fiqh, misalnya masalah hukum perkawinan.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar